oleh : KH. Abdurrahman Wahid
Setelah menyadari banyak masjid dan jamaahnya diserobot oleh kelompok- kelompok
garis keras, NU mulai melakukan konsolidasi dengan menata kembali
organisasinya, antara lain, di masjid-masjid. PBNU menyatakan dengan
tegas bahwa gerakan Islam transnasional seperti al-Qaidah, Ikhwanul
Muslimin (yang di sini direpresentasikan oleh PKS—red.), dan Hizbut
Tahrir adalah gerakan politik yang berbahaya karena
mengancam paham
Ahlussunnah wal Jamâ‘ah, dan berpotensi memecah-belah bangsa.(18)
Kemampuan mereka berpura-pura bisa menerima paham dan tradisi NU juga
membuat mereka sangat berbahaya karena bisa menyusup kapan saja dan ke
mana saja.
Sementara terkait dengan isu khilafah yang diperjuangkan HTI, Majlis
Bahtsul Masa’il memutuskan bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki
rujukan teologis, baik di dalam al-Qur’an maupun hadits.(19)
Walaupun di beberapa tempat NU telah berhasil mengusir kelompok garis
keras, namun di banyak tempat upaya penyusupan dan penyerobotan masjid
dan jamaah NU terus dilakukan. Secara umum, sebagaimana ditunjukkan
penelitian ini, penyusupan garis keras jauh lebih gencar daripada upaya
NU untuk mengusirnya. Jika ini terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin
bahwa NU akan kehilangan presentase signifikan jumlah jamaah dan
masjidmasjidnya, dan berubah menjadi kurang spiritul dan
lebih keras.
Penyusupan garis keras di lingkungan NU, dan kegagalan ormas terbesar
dunia ini menghentikan infiltrasinya ke pemerintahan, MUI dan
bidang-bidang strategis lain secara umum di negara ini, salah satu
sebabnya terjadi karena fenomena “kyai materi” yang tersebar luas.
“Kyai-kyai materi” lebih mengutamakan kepentingan pribadinya daripada
kepentingan jamaah dan jam‘iyah NU serta negara. Puluhan juta jamaah NU
yang terkonsentrasi di desa-desa dan daerah-daerah tertentu, adalah
kelompok pemilih terbesar (the largest single group of voters) di
Indonesia. Suara mereka bisa menentukan siapa yang akan terpilih untuk
naik ke kursi DPRD, DPR, Bupati, Gubernur dan Presiden. Realitas ini
mendorong banyak parpol tergoda untuk memanipulasi NU dan memanfaatkan
hubungan dengan kyai-kyai materi demi ke pentingan politik mereka.
Karena sifat dasar manusia, ada kyai-kyai yang merindukan amplop
atau
kedudukan politik kemudian maju untuk menjadi pengurus NU di tingkat
cabang, wilayah, atau pusat, sebagai jembatan untuk memanfaatkan dan
dimanfaatkan oleh parpol-parpol dan politisi tertentu.
Pada saat yang sama, banyak kyai-kyai spiritual yang mundur dari arena
penuh pamrih dan kepentingan pribadi tersebut dan hanya berbagi ilmu
dengan orang-orang yang datang tanpa pamrih untuk mendekati Tuhan,
bukan kedudukan. Dengan jumlah anggota sekitar empat puluh juta, NU
—bersama Muhammadiyah— betul-betul bisa menjadi soko guru yang mampu
untuk tetap menyangga bangunan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi,
untuk bisa memenuhi amanah tersebut, NU harus melakukan revitalisasi
spiritual dan kembali ke nilai-nilai utamanya. Dengan cara demikian,
para ulama bisa membimbing yang berkuasa dan tidak membiarkan dirinya
diperalat oleh mereka.
Nenek moyang kita meyakini hal ini sebagai dharma manusia, dan
karena
alasan itulah wayang kulit selalu menggambarkan raja-raja bersikap
hormat dan tunduk kepada para resi, dan bukan sebaliknya.
Dewasa ini, kultur wayang yang khas Indonesia dan penuh nilai- nilai
luhur sudah mulai tersisih oleh kultur asing. Adopsi kultur asing
secara tidak cerdas akan membuat bangsa Indonesia kehilangan
jatidirinya sebagai bangsa. Hal ini bisa dilihat —antara lain— dalam
kasus yang terjadi di Cairo pada awal tahun 2004. Saat itu salah
seorang Ketua PBNU diundang menyampaikan paper dalam forum Pendidikan
dan Bahtsul Masa’il Islam Emansipatoris bersama Prof. Dr. Hassan Hanafi
dan Dr. Youhanna Qaltah. Sehari sebelum paper disampaikan, Presiden
Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir dan
teman-temannya masuk ke hotel Sonesta tempat acara akan dilaksanakan
dan mengancam Ketua PBNU dimaksud menyajikan papernya. Mereka
mengancam, jika larangannya tidak diindahkan, apa
pun akan dilakukan
untuk menghentikan, termasuk pembunuhan. “Kalau Bapak masih bersikeras,
saya sendiri yang akan membunuh Bapak,” ancam Limra Zainuddin, Presiden
PPMI.(20)
Setelah diselidiki, konon para mahasiswa tadi adalah para aktivis PK
(PKS) di Cairo.(21)Sebagai Muslim, mahasiswa itu seharusnya bersikap
tawâdlu‘ (rendah hati), menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang
lebih muda (laisa minnâ man lam yukrim kibâranâ wa lam yarham
shighâranâ). Namun semua ini tidak terjadi karena tidak adanya
pemahaman dan internalisasi ajaran Islam yang penuh spiritualitas, dan
mereka telah mengadopsi kultur asing secara tidak cerdas. Dua hal ini
bisa membuat siapa pun mudah terjebak ke dalam pemahaman- pemahaman
yang sempit dan kaku. Siapa pun yang tidak mempunyai pemahaman yang
mendalam tentang Islam, khususnya tentang hakikat dan ma‘rifat, akan
melihat bahwa apa yang disampaikan kelompok- kelompok
garis keras sama
belaka seperti yang dipahami oleh kebanyakan umat Islam. Mereka
menggunakan bahasa yang sama dengan umat Islam pada umumnya, seperti
dakwah, amar ma’rûf nahy munkar atau Islam rahmatan lil-‘âlamîn, tapi
sebenarnya mereka memahaminya secara berbeda.(22)
Di tangan mereka, amar ma‘rûf nahy munkar telah dijadikan legitimasi
untuk melakukan pemaksaan, kekerasan, dan penyerangan terhadap siapa
pun yang berbeda. Mereka berdalih memperjuangkan al-ma‘rûf dan menolak
al-munkar setiap kali melakukan aksi-aksi kekerasan atau pun
mendiskreditkan orang atau pihak lain.
Sementara konsep rahmatan lil-‘âlamîn digunakan sebagai dalih
formalisasi Islam, memaksa pihak lain menyetujui tafsir mereka, dan
menuduh siapa pun yang berbeda atau bahkan menolak tafsir mereka
sebagai menolak konsep rahmatan lil-‘âlamîn, sebelum akhirnya dicap
murtad dan kafir. Padahal, sebenarnya semangat dasar
dakwah adalah
memberi informasi dan mengajak, dan Islam menjamin kebebasan dalam
beragama (lâ ikrâh fi al-dîn [QS. al-Baqarah, 2: 256]).(23) Di sini
kita melihat kontradiksi mendasar antara aktivitas kelompok- kelompok
garis keras dengan ajaran Islam yang penuh kasih sayang, toleran, dan
terbuka.
Penggunaan bahasa yang sama ini membuat mereka menjadi sangat
berbahaya, karena dengan bahasa yang sama mereka mudah mengecoh banyak
umat Islam dan mudah pula menyusup ke mana-mana dan kapan saja. Dengan
strategi demikian, ditambah militansi yang tinggi dan dukungan dana
yang kuat dari luar dan dalam negeri, kelompok-kelompok garis keras ini
telah menyusup dan berusaha mempengaruhi mayoritas umat Islam untuk
mengikuti paham mereka. Umat Islam dan pemerintah selama ini telah
terkecoh dan/atau membiarkan aktivitas kelompok- kelompok garis keras
sehingga mereka semakin besar dan kuat dan semakin mudah
memaksakan
agenda-agendanya, bukan saja kepada ormasormas Islam besar tetapi juga
kepada pemerintah, partai politik, media massa, dunia bisnis, dan
lembaga-lembaga pendidikan.
Sikap militan dan klaim-klaim kebenaran yang dilakukan kelompok-
kelompok garis keras memang tak jarang membuat mayoritas umat Islam,
termasuk politisi oportunis, bingung berhadapan dengan mereka, karena
penolakan kemudian akan dicap sebagai penentangan terhadap syariat
Islam, padahal tidak demikian yang sebenarnya. Maka tidak heran jika
banyak otoritas pemerintah dan partai- partai politik oportunis mau
saja mengikuti dikte kelompok garis keras, misalnya dengan membuat
Peraturan Daerah (Perda) Syariat yang inkonstitusional. Padahal, itu
adalah “Perda fiqh” yang tidak lagi sepenuhnya membawa pesan dan ajaran
syari‘ah, dan muatannya bersifat intoleran dan melanggar hak-hak sipil
serta hak-hak minoritas karena diturunkan dari
pemahaman fiqh yang
sempit dan terikat, di samping juga tidak merefleksikan esensi ajaran
agama yang penuh spiritualitas, toleransi, dan kasih sayang kepada
sesama manusia.
Ringkasnya, para politisi oportunis yang bekerjasama dengan partai atau
kelompok-klompok garis keras sangat berbahaya juga. Mereka ikut
menjerumuskan negara kita ke arah jurang perpecahan dan kehancuran.
Mereka tidak memperhatikan, dan bahkan mengorbankan, masa depan bangsa
yang multi-agama dan multi-etnik. Sepertinya mereka hanya mementingkan
ambisi pribadi demi melanggengkan kekuasaan dan meraih kekayaan.
Gerakan garis keras terdiri dari kelompok-kelompok yang saling
mendukung dalam mencapai agenda bersama mereka, baik di luar maupun di
dalam institusi pemerintahan negara kita. Ancaman yang sangat jelas
adalah usaha mengidentifikasi Islam dengan ideologi Wahabi/Ikhwanul
Muslimin serta usaha untuk melenyapkan budaya dan tradisi
bangsa kita
dan menggantinya dengan budaya dan tradisi asing yang bernuansa Wahabi
tapi diklaim sebagai budaya dan tradisi Islam. Bagian manapun dari
kedua bahaya tersebut, atau keduanya, hanya akan menempatkan bangsa
Indonesia di bawah ketiak jaringan ideologi global Wahabi/Ikhwanul
Muslimin. Dan yang paling memprihatinkan, sudah ada infiltrasi ke dalam
institusi pemerintah yang sedang digunakan untuk mencapai tujuan ini.
Agen-agen garis keras juga melakukan infiltrasi ke Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Bahkan sudah dibilang, MUI kini telah menjadi bungker
dari organisasi dan gerakan fundamentalis dan subversif di Indonesia.
(24) Lembaga semi pemerintah yang didirikan oleh rezim Orde Baru untuk
mengontrol umat Islam itu, kini telah berada dalam genggaman garis
keras dan berbalik mendikte/mengontrol pemerintah.
Maka tidak heran jika fatwa-fatwa yang lahir dari MUI bersifat kontra
produktif dan memicu
kontroversi, semisal fatwa pengharaman
sekularisme, pluralisme, liberalisme dan vonis sesat terhadap kelompok-
kelompok tertentu di masyarakat yang telah menyebabkan aksi-aksi
kekerasan atas nama Islam.
Berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis
keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain yang
menghancurkan dan memberangus orang lain yang dinyatakan sesat oleh
MUI, dan dukungan pengurus MUI kepada mereka yang melakukan aksi-aksi
kekerasan terkait, mengkonfirmasi pernyataan bahwa MUI telah memainkan
peran kunci dalam gerakan-gerakan garis keras di Indonesia. Saat ini
ada anggota MUI dari Hizbut Tahrir Indonesia, padahal HTI jelas-jelas
mencita-citakan khilafah Islamiyah yang secara ideologis bertentangan
dengan Pancasila dan NKRI.
Rendahnya perhatian dan keprihatinan terhadap fenomena garis keras
tidak hanya mengenai ideologi, gerakan, dan infiltrasi mereka.
Arus
dana Wahabi yang tidak hanya membiayai terorisme tetapi juga penyebaran
ideologi dalam usaha wahabisasi global juga nyaris luput dari perhatian
publik.(25) Selama ini, arus dana Wahabi ke Indonesia tidak mendapat
perhatian publik secara serius, padahal dari sinilah fenomena
infiltrasi paham garis keras memperoleh dukungan dan dorongan yang luar
biasa kuat sehingga menjadi bisnis yang menguntungkan banyak agennya.
Ada orang-orang yang sadar bahwa petrodollar Wahabi yang sangat besar
jumlahnya masuk ke Indonesia, namun cukup sulit untuk membuktikannya di
lapangan karena pihak yang menerima sangat sensitif atas isu ini dan
menolak membicarakannya. Sepertinya, penolakan ini dilakukan karena
agen garis keras malu jika diketahui bahwa mereka telah menjual agama,
malu jika diketahui mengabdi pada tujuan Wahabi, dan memang untuk
menyembunyikan infiltrasi Wahabi/Ikhwanul Muslimin terhadap Islam
Indonesia. Pada
sisi yang lain, badan negara yang bertanggung jawab
mengawasi aliran keluar-masuk dana di Indonesia juga tidak mengumumkan
hal tersebut meskipun sebenarnya ada para pejabat dan pihak yang
bertanggung jawab atas keamanan negara mengaku sangat prihatin dengan
fenomena ini.
Sebagai misal, sudah merupakan rahasia umum di kalangan para ahli bahwa
melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang bertindak sebagai
wakilnya di Indonesia, Rabithath al-‘Alam al-Islami menyediakan dana
yang luar biasa besar untuk gerakan- gerakan radikal di Indonesia. (26)
Berbagai aktivitas dakwah kampus atau lazim disebut Lembaga Dakwah
Kampus (LDK), yang menggagas gerakan tarbiyah, yang kemudian melahirkan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menikmati dana Arab Saudi tersebut dan
sekaligus menyebarkan virus tarbiyah di Indonesia.
Di Kabupaten Magelang, peneliti kami mendapat informasi dari mantan
pengurus Muhammadiyah salah
satu kecamatan di Magelang bahwa PKS sedang
mencari masjid-masjid yang hendak direnovasi, atau daerah-daerah yang
membutuhkan masjid baru. Secara terbuka, aktivis PKS yang bertanggung
jawab atas proyek ini mengutarakan kepada mantan pengurus Muhammadiyah
dimaksud bahwa dana untuk semua itu diperoleh dari Arab Saudi. Jika
masjid hendak direnovasi atau dibangun, penduduk setempat hanya diminta
untuk mendukung PKS dalam setiap pemilihan. Kata dia, “Tahun 2008 ini
sudah ada 11 yang akan dibangun atau direnovasi dengan dana Saudi.”
Hampir semua jama‘ah masjid di Magelang yang diserobot oleh PKS melalui
strategi ini adalah warga Nahdliyin.(27) Jika di satu kabupaten saja
ada 11 masjid yang dikerjakan, bayangkan berapa jumlah uang Wahabi yang
digunakan untuk membangun masjid-masjid di seluruh Indonesa dengan
motif politik seperti ini? Setelah calon PKS menang dalam Pilgub Jawa
Barat pada bulan Juli 2008, salah
seorang Ketua NU memberitahu peneliti
kami bahwa hal tersebut ditandai oleh keberhasilan PKS merebut banyak
masjid NU dan para jama‘ahnya. Walaupun Ketua NU dimaksud terkejut
dengan kejadian tersebut, sebenarnya keberhasilan PKS merebut masjid
dan jamaah NU tidak mengherankan. Tentu saja ideologi yang didukung
dana asing dengan jumlah yang luar biasa besar dan dipakai secara
sistematis bisa menyusup ke mana-mana dan mengalahkan oposisi yang
tidak terorganisasi. Atau dengan kata lain yang sering dipakai oleh
para ulama, al-haqq bi lâ nizhâmin qad yaghlib al-bâthil bi nizhâmin
(kebenaran yang tidak terorganisasi bisa dikalahkan kebatilan yang
terorganisasi) .
Para agen garis keras sering berteriak bahwa orang asing,
yayasan-yayasan, dan pemerintah dari Barat menggunakan uang mereka
untuk menghancurkan Islam di Indonesia, dan menuding ada konspirasi
Zionis/Nasrani di belakangnya. Pada kenyataannya,
pemerintah dan
yayasan-yayasan Barat seperti Ford Foundation dan the Asia Foundation
mempublikasikan program-program yang dilakukannya secara terbuka,
sehingga publik bisa mengetahui apa yang sebenarnya mereka lakukan dan
berapa biaya yang dikeluarkan untuknya.(28) Walaupun dana LibForAll
Foundation sangat sedikit dan kebanyakan pembina, penasehat, dan
pengurusnya orang Indonesia asli, ia juga melaporkan program-program
yang dilakukannya secara terbuka dan transparan.
Hal ini sangat berbeda dari gerakan asing Wahabi/Ikhwanul Muslimin dan
kaki tangannya di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan dengan jelas
bahwa, sementara para agen garis keras berteriak bahwa orang asing
datang ke Indonesia membawa uang yang banyak untuk menghancurkan
Islam... tentu itu benar, karena orang asing itu adalah aktivis gerakan
transnasional dari Timur Tengah yang menggunakan petrodollar dalam
jumlah yang fantastis untuk melakukan
Wahabisasi, merusak Islam
Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia
sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah
pun tidak ada.(29)
Dengan balutan jubah dan jenggot Arab yang ditampilkan, yang oleh
beberapa pihak telah dipandang lebih tampak seperti preman berjubah,
mereka ingin menunjukkan seolah-olah pandangan ekstrem yang mereka
teriakkan dan paksakan memang benar-benar merupakan pesan Islam yang
harus diperjuangkan. Padahal, mereka merusak agama Islam dan
bertanggung jawab atas banyak kekerasan yang mereka lakukan atas nama
Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Dan kita sebagai umat Islam harus
menanggung malu atas perbuatan mereka.
Karena itu, alasan utama melawan gerakan garis keras adalah untuk
mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam yang telah mereka nodai
dan sekaligus —pada saat yang sama— untuk menyelamatkan Pancasila
dan
NKRI. Jika mayoritas moderat melawan kelompok garis keras dengan tegas,
kita akan mengembalikan suasana beragama di Indonesia menjadi moderat,
dan kelompok garis keras dewasa ini akan gagal lagi seperti semua nenek
moyang ideologis mereka di tanah air kita, yang mewakili kehadiran
al-nafs al-lawwâmah. Kemenangan melawan mereka akan mengembalikan
keluhuran ajaran Islam sebagai rahmatan lil-‘âlamîn, dan ini merupakan
salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia. Studi ini kami
lakukan dan publikasikan untuk membangkitkan kesadaran seluruh komponen
bangsa, khususnya para elit dan media massa, tentang bahaya ideologi
dan paham garis keras yang dibawa ke tanah air oleh gerakan
transnasional Timur Tengah dan tumbuh seperti jamur di musim hujan
dalam era reformasi kita. Juga, sebagai seruan untuk melestarikan
Pancasila yang merefleksikan esensi syari‘ah dan menjadikan Islam
sebagai rahmatan
lil-‘âlamîn yang sejati.
Dalam Bab V, studi ini merekomendasikan langkah-langkah strategis untuk
melestarikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan menegakkan warisan luhur
tradisi, budaya dan spiritualitas bangsa Indonesia, antara lain dengan:
* mengajak dan mengilhami masyarakat dan para elit untuk bersikap
terbuka, rendah hati, dan terus belajar agar bisa memahami
spiritualitas dan esensi ajaran agama, dan menjadi jiwa-jiwa yang
tenang;
* menghentikan dan memutus —dengan cara-cara damai dan bertanggung
jawab— mata rantai penyebaran paham dan ideologi garis keras melalui
pendidikan (dalam arti kata yang seluas-luasnya) yang mencerahkan,
serta mengajarkan dan mengamalkan pesan-pesan luhur agama Islam yang
mampu menumbuhkan kesadaran sebagai hamba Tuhan yang rendah hati,
toleran dan damai.
Bekerjasama, saling mengingatkan tentang kebenaran (wa tawâshau
bil-haqq) dan untuk selalu bersabar (wa
tawâshau bil-shabr), menjadi
kunci penting dalam hal ini. Kita harus tetap santun, sabar, toleran,
dan terbuka dalam usaha-usaha melestarikan visi luhur nenek moyang dan
Pendiri Bangsa. Tujuan mulia hendaknya tidak dinodai dengan usaha-usaha
kotor, kebencian, maupun aksiaksi kekerasan. Tujuan luhur harus dicapai
dengan cara-cara yang benar, tegas, bijaksana dan bertanggung jawab,
yang jauh dari arogansi, pemaksaan dan semacamnya.
Kita pantas mengingat nasehat Syeikh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari dalam
Hikam karyanya: “Janganlah bersahabat dengan siapa pun yang perilakunya
tidak membangkitkan gairahmu mendekati Allah dan kata-katanya tidak
menunjukkanmu kepada -Nya” (lâ tash-hab man lâ yunhidluka ilâ Allah
hâluhu, wa la yahdîka ilâ Allâh maqâluhu). Orang yang merasa paling
mengerti Islam, penuh kebencian kepada makhluk Allah yang tidak sejalan
dengan mereka, serta merasa sebagai yang paling benar
dan karena itu
mengklaim berhak menjadi khalifah-Nya untuk mengatur semua orang—pasti
perbuatan dan kata-katanya tidak akan membawa kita kepada Tuhan.
Cita-cita mereka tentang negara Islam hanya ilusi. Negara Islam yang
sebenarnya tidak terdapat dalam konstruksi pemerintahan, tetapi dalam
kalbu yang terbuka kepada Allah swt. dan kepada sesama makhluk-Nya.
Kebenaran dan kepalsuan sudah jelas. Garis keras ingin memaksa semua
rakyat Indonesia tunduk kepada paham mareka yang ekstrem dan kaku.
Catatan sejarah bangsa kita —Babad Tanah Jawi, Perang Padri,
Pemberontakan DI, dan lain-lain— menunjukkan bahwa jiwa-jiwa yang resah
akan terus mendorong bangsa kita ke jurang kehancuran sampai mereka
betul-betul berkuasa, atau kita menghentikannya seperti berkali-kali
telah dilakukan oleh jiwa-jiwa yang tenang, nenek moyang kita. Saat ini
kitalah yang memilih masa depan bangsa.
Jakarta, 8 Maret
2009
------------ -footnote- --------- --------- ---------
18. PBNU mendesak pemerintah mencegah masuknya ideologi transnasional
ke Indonesia. Jauh sebelumnya, almarhum KH. Yusuf Hasjim meminta PBNU
memotong masuknya ideologi transnasional karena berbahaya bagi NU dan
Indonesia. (Pidato disampaikan dalam peringatan 100 hari wafatnya KH.
Yusuf Hasjim, di Jombang, Jawa Timur; baca NU Online, “PBNU Desak
Pemerintah Cegah Ideologi Transnasional,” Ahad, 29 April 2007).
19. Lihat Lampiran 2 buku ini.
20. Baca “Gertak Mati Pengawal Akidah,” dalam Gatra edisi 14, beredar Jum’at 13 Pebruari 2004.
21. Interview dengan salah seorang alumni Universitas al-Azhar Cairo asal Indonesia angkatan 2000.
22. “Karena gerakan ideologis sering tidak terasa dan disadari oleh
mereka yang dimasukinya, maka secara sistematis berkembang menjadi
besar dan merasuk. Lebih-lebih jika gerakan ideologi tersebut
membawa
ideologi Islam yang puritan dan militan, sehingga bagi yang
menganggapnya sebagai masalah justeru yang akan disalahkan adalah
mereka yang mempermasalahkannya . Menentang mereka
berarti alergi Islam atau anti ukhuwah. Dengan demikian gerakan
ideologis seperti itu akan semakin mekar dan berekspansi secara
sistematik, yang di kemudian hari baru dirasakan sebagai masalah serius
tetapi keadaan sudah tidak dapat dicegah dan dikendalikan karena telah
meluas sebagai gerakan yang dianut oleh banyak orang. Daya infiltrasi
gerakan ideologis memang berlangsung tersistem dan meluas, yang sering
tidak disadari oleh banyak pihak,” (Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan
Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah? Cet. Ke-5 [Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2007], h. 59).
23. “Peran pemerintah, praktisi dakwah, ulama, dan intelektual harus
memberi nasehat kepada yang [berdakwah secara] salah. Jika mereka
tidak
menerima nasehat ini, pemerintah harus menerapkan hukum dengan
menangkap mereka dan menghukumnya sesuai dengan kesalahannya,”
(Penjelasan Syeikh al-Akbar al-Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi, dalam:
Lautan Wahyu: Islam sebagai Rahmatan lil-‘Âlamîn, episode 5: “Dakwah,”
Supervisor Program: KH. A. Mustofa Bisri, ©LibForAll oundation 2009).
24. Baca: “MUI Bungker Islam Radikal,” di http://www.wahidins titute.org/ indonesia/
content/view/ 718/52/
25. Dalam buku Dua Wajah Islam, Stephen Sulaiman Schwartz dengan jelas dan
meyakinkan memaparkan aliran dana Wahabi dalam usaha-usaha wahabisasi
global dan aksi-aksi terorisme internasional yang dilakukan atas nama
agama. Dalam konflik Bosnia misalnya, dengan dalih membela Muslim
Bosnia dari ethnic cleansing, Wahabi mengambil kesempatan untuk
menyebarkan
ideologinya dengan membangun infrastruktur pendidikan dan
peribadatan. Wahabi menggunakan pendidikan (tarbiyah) dan peribadatan
(ubûdiyah) sebagai camouflage ideologis untuk menyebarkan paham
keagamaan mereka yang kaku dan sempit. Sedangkan kasus WTC sudah jelas
siapa dalang di balik tragedi tersebut. (Stephen Sulaiman Schwartz
(2002). The Two Faces of Islam: Sa’ud Fundamentalism and Its Role in
Terrorism. New York: Doubleday (diterbitkan dalam bahasa Indonesia: Dua
Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global,
Jakarta: LibForAll Foundation, the Wahid Institute, Center for Islamic
Pluralism, dan Blantika).
26. Noorhaidi Hasan, “Islamic Militancy, Sharia, and Democratic
Consolidation in Post-Soeharto Indonesia,” Working Paper No. 143, S.
Rajaratnam School of International Studies (Singapore, 23 October 2007).
27. Wawancara peneliti konsultasi di Kabupaten Magelang pada bulan Agustus
2008.
28. Pemerintah Amerika Serikat banyak membiayai pelatihan untuk
meningkatkan sumberdaya manusia terkait demokratisasi di seluruh dunia.
The National Democratic Institute (NDI), lembaga semi-pemerintah AS
yang berusaha mendorong usaha-usaha demokratisasi di Indonesia, “secara
tipikal lebih memilih mitranya berdasarkan komitmen mereka pada
prinsip-prinsip demokratis dan anti-kekerasan daripada
keyakinan-keyakinan politiknya. Faktor lain yang juga dipertimbangkan
adalah:
kemampuan dan dukungan politik rakyat seperti bisa dibuktikan dari
hasil pemilu; organisasi-organisa si tingkat akar rumput; dan kemampuan
menerima bantuan. Selama ini NDI menyelenggarakan training aktivis dan
anggota, kampanye pemilihan langsung, kebijakan pembangunan, pemilihan
pimpinan, analisis sikap pemilih, serta pembangunan dan reformasi
partai politik. NDI juga terus menyediakan saran-saran para ahli dan
informasi global,
training para pemimpin partai dan instruktur pada
tingkat nasional, wilayah, dan kabupaten.” (Baca dalam: http://www.ndi. org/indonesia) .
Berdasarkan wawancara peneliti konsultasi pada bulan Maret 2008, partai
yang paling banyak menerima manfaat dalam program Political Party
Development NDI ini adalah PKS.
29. Aktivitas Saudi di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari
kampanye senilai US $70.000.000. 000,- selama kurun waktu antara
1979-2003 untuk menyebarkan sekte fundamentalis Wahabi di seluruh
dunia. Usaha-usaha dakwah Wahabi yang terus meningkat ini merupakan
“kampanye propaganda terbesar di seluruh dunia yang pernah
dilakukan—anggaran propaganda Soviet pada puncak Perang Dingin menjadi
sangat kecil dibandingkan belanja propaganda Wahabi ini” (Baca dalam:
“How Billions in Oil Money Spawned a Global Terror Network,” dalam
US
News & World Report, 7 Desember 2003).
Start the day with Love, Fill the day with Love, and End the day with Love...
Be Joyful and Share your Joy with others...
Dalam Gelapnya Malam, Kita justru dapat melihat Indahnya Bintang...
Jumat, 22 Mei 2009
Sabtu, 07 Februari 2009
Tauhid Kasih
Oleh Ahmad Yulden Erwin
Seorang Sufi dari Aceh pada Abad 17
Dalam sejarah perkembangan agama Islam di Nusantara, ada beberapa tokoh Islam yang dikenal sangat dipengaruhi oleh paham kesufian dari Al Hallaj. Di tanah Jawa kita mengenal tokoh sufi yang bernama Syeikh Siti Jenar, atau sering juga dikenal dengan panggilan Syeikh Lemah Abang.
Syeikh Siti Jenar ini dalam beberapa penelitian para ahli dikatakan salah satu wali dari sembilan wali yang dianggap menjadi penyebar agama Islam di Nusantara. Tetapi, dalam beberapa penelitian ahli lainnya, Syeikh Siti Jenar dianggap bukan salah seorang dari sembilan wali
tersebut. Namun, yang jelas, kisah hidup Syeikh Siti Jenar hampir mirip dengan Al Hallaj di tanah Persia. Syeikh Siti Jenar juga dihukum mati
oleh para wali karena dianggap telah menyesatkan umat dengan ajaran kesufian “Manunggaling Kawulo Gusti”, atau paham kesatuan antara mahluk
dengan Tuhan. Ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” dari Syeikh Siti Jenar ini mirip dengan ajaran “Wahdatul Wujud” yang dikembangkan dan
dipraktekkan oleh Al Hallaj.
Namun, dalam perkembangan berikutnya, juga ada seorang tokoh sufi lain di Nusantara yang juga dipengaruhi sangat kuat oleh paham Wahdatul
Wujud dari Al Hallaj ini, yaitu seorang putra Aceh yang bernama Syeikh Hamzah Fansuri. Beliau adalah seorang sufi dari Aceh yang hidup pada
abad ke-17. Menurut para peneliti dan ahli sejarah Aceh, waktu dan tempat kelahiran Hamzah Fansuri tidaklah diketahui. Ada sebagian ahli
yang mengatakan bahwa ia lahir di negeri Barus yang waktu itu masuk dalam kerajaaan Aceh (sekarang termasuk salah satu daerah di Provinsi
Sumatera Utara). Tetapi Prof. A. Hasjmy dari Aceh berpendapat bahwa Hamzah Fansuri lahir di daerah Fansur, yaitu suatu kampung yang
terletak di antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan).
Dalam jaman kerajaan Aceh Darusalam, kampung Fansur ini dikenal sebagai pusat pendidikan Islam. Kecuali di Aceh sendiri, Syeikh Hamzah Fansuri juga belajar di berbagai
tempat dalam pengembaraannya seperti di Jawa, India, Parsia, Arabia dan lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang alim dan
banyak menguasai ilmu seperti ilmu fiqih, tasauf, logika, filsafat, sastra, dan bahasa.
Sekembalinya dari pengembaraan, beliau mulai mengajar di Barus, kemudian Banda Aceh, dan terakhir beliau mendirikan Dayah (Madrsyah) di
daerah tempat lahirnya, dekat Rundeng (Singkel), di sana kemudian beliau wafat sekitar tahun 1607-1610. Beliau memiliki banyak murid,
tetapi yang paling terkenal adalah Syeikh Syamsudin Sumatrani yang berasal dari Samudra/Pase, yang menjadi qadi (penasehat agama) Sultan
Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1630.
Di dalam hal taswuf atau ilmu kesufian, Syeikh Hamzah Fansuri menganut paham Wahdat Al Wujud, yaitu paham kesatuan antara Mahluk dan Tuhan.
Dalam hal ini beliau sangat dipengaruhi oleh para sufi seperti Muhyidin Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Al Halajj, Bayazid Al Bistami, Fariduddin
Attar, Jalaluddin Rumi, Al Ghazali dan lainnya.
Pada saat itu di Sumatera, khususnya di Aceh, tengah terjadi perdebatan sengit tentang paham Wahdat Al Wujud, melibatkan ahli-ahli tasawuf,
ushuludin, dan fiqih pada saat itu. Perdebatan ini dibicarakan antara lain oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di dalam buku Bustan Al-Salatin,
yang menentang paham Wahdat Al-Wujud dari Syeikh Hamzah Fansuri dan para muridnya.
Perdebatan itu akhirnya memuncak menjadi perseteruan bernuansa politik. Pada masa Sultan Iskandar Tsani (1937-1641), Syeikh Nuruddin Ar-Raniri
diangkat menjadi qadi Sultan. Pada masa itu pula, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri kerap menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran
tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsudin Sumatrani telah sesat, karena termasuk ajaran kaum zindiq dan pantheis. Kemudian atas
saran Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan ulama istana Aceh pada waktu itu, Sultan Iskandar Tsani memerintahkan pembakaran ribuan buku karangan
penulis penganut paham Wahdat Al-Wujud di halaman masjid Raya Kutaraja.
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri juga termasuk yang dibakar. Bahkan, para murid dan pengikut Syeikh Hamzah Fansuri banyak yang dikejar-kejar
dan dibunuh.
Karya-karya Hamzah Fansuri yang selamat dari pembakaran buku di halaman masjid Raya Kutaraja tersebut tidaklah banyak. Di antaranya, buku yang
berjudul Asrarul Arifin, Syarabul Asyikin, serta beberapa puisi sufi seperti Rubai, Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dll.
Semasa hidupnya, Syeikh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan
pelopor keilmuan dan kebudayaan Melayu. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap prilaku politik dan moral raja-raja, bangsawan dan orang-orang
kaya menempatkannya sebagai seorang sufi yang berani pada jamannya.
Karena itu tidaklah mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak menyukai kegiatan Syeikh Hamzah Fansuri dan pengikutnya.
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf dan keagamaan secara sistematis dan bersifat ilmiah di
dalam bahasa Melayu. Sebelum karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri muncul,masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah keagamaan, tasawuf, dan
sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia.
Di bidang sastra, Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan puisi-puisi sufistik yang bercorak Melayu. Bahkan menurut sebagian ahli
sasta Indonesia saat ini, Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang menuliskan puisi berbentuk pantun dalam bahasa Melayu.
Di bidang kebahasaan, sumbangsih Syeikh Hamzah Fansuri juga sangat besar. Sebagai penulis pertama kitab keilmuan dan sastra dalam bahasa
Melayu, beliau telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar bahasa lingua franca (bahasa pergaulan sehari-hari),
menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi seni sastra yang modern.
Tak mengherankan jika pada abad ke-17, bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di berbagai lembaga pendidikan Islam, disusul dengan
penggunaannya oleh para misionaris Kristen untuk penyebaran agama, kemudian digunakan pula oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bahasa
administrasi dan pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Inilah yang memberi peluang besar kepada bahasa Melayu untuk dipilih serta
ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia dan Malaysia.
Namun, yang paling penting, dan sering luput dari perhatian para ahli sejarah dan agama tentang Aceh, adalah ajaran sufi atau tasawuf dari
Syeikh Hamzah Fansuri yang sangat universal dan masih tetap relevan bagi bangsa Indonesia bahkan dunia saat ini. Ajaran sufi dari Syeikh
Hamzah Fansuri sangat spiritual, humanis, dan mampu melintasi sekat-sekat kemanusiaan yang tercipta akibat pandangan sempit kesukuan,
ras, serta agama.
Jalan Sufi adalah Jalan Menemukan Jati Diri Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, seseorang yang hendak memasuki jalan sufi, jalan spiritual, jalan untuk bertemu Tuhan yang abdi, haruslah
memulai perjalanannya dengan mengenal Jati Dirinya terlebih dahulu. Simaklah syair yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:
“Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang
yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau
mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu,
suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau spiritual
di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah meditasi.
Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang
Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9: “Hapuskan akal dan rasamu, lenyapkan badan dan nyawamu. Pejamkan hendak kedua matamu, di sana kaulihat permai rupamu”.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan kesufian apa pun harus dimulai dengan
“hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi “no-mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran
Ilahi. Untuk mencapai kondisi “no-mind” tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan
keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa).
Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang
senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh
Hamzah Fansuri.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri mengisahkan pengalamannya mencari dan menemukan Tuhan, menemukan Allah yang lebih dekat dari urat lehernya
sendiri, menemukan Jati Dirinya sendiri. Simak syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 3 di bait 14: “Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,
mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah. Dari Barus ke Qudus terlalu payah, akhirnya dijumpa di dalam Rumah”.
Sebagai seorang Guru Sufi atau Murshid, Syeikh Hamzah Fansuri memang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri.
Seorang Murshid hanya membagi pesan atau memberi contoh berdasarkan pengalaman yang pernah dilakoninya. Begitu pula dengan Syeikh Hamzah
Fansuri, beliau dengan jujur mengungkapkan bahwa selama ini ia telah bersusah payah mencari Tuhan di luar dirinya, hal ini disimbolkan
dengan Ka’bah atau pun Qudus (nama mesjid di Yerusalem tempat kiblat sholat pertama umat Islam sebelum Ka’bah di Mekkah). Proses pencarian
Tuhan di luar dirinya tersebut telah membawanya mengembara ke mana-mana meninggalkan kampung halamannya yang bernama Barus di Aceh. Tetapi,
akhirnya beliau tersadar, bahwa Tuhan yang selama ini dicarinya di luar diri, ternyata “dijumpa” di dalam “Rumah”, di dalam dirinya sendiri.
Proses “perjumpaan” dengan Tuhan di dalam dirinya sendiri ini telah mengakhiri “pencarian” yang meletihkan dari seorang Hamzah Fansuri,
sehingga beliau layak disebut sebagai seorang Syeikh, seorang Guru Sufi, seorang Murshid yang mendidik para muridnya berdasarkan
pengalaman pribadinya sendiri.
Bagi seorang sufi sejati, penemuan Tuhan sebagai Jati Dirinya sendiri akan membuat hidupnya benar-benar bebas dari segala keterikatan apa
pun, ia berada dalam “Kemiskinan Ilahiah”, kemiskinan yang membebaskannya dari segala kemelekatan pada kesementaraan benda-benda,
pada ilusi dunia yang tercipta dari pikirannya sendiri.
Ia bersiap sedia mengurbankan dirinya demi melayani Kehendak Ilahi. Ia tidak lagi tersekat-sekat dalam pandangan sempit kesukuan atau fanatisme agama,
karena ia telah menyadari bahwa keberadaannya yang sementara selalu berada dalam Keberadaan Sang Maha Abadi. Ia sadar bahwa fungsinya di
dalam dunia hanyalah menjadi perantara atau pembawa pesan dari Keabadian, dari Allah yang senantiasa bersemayam dalam hatinya. Itulah
yang diungkapkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri, yang saya kutip secara bebas, di dalam syair yang berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 1
di bait 11: Hamzah miskin orang terbebaskan, seperti Nabi Ismail menjadi qurban. Fansuri bukannya Persia lagi Arabi, selalu menjadi perantara dengan yang Baqi”.
Kesatuan Hamba dan Tuhan di dalam Kasih Pandangan kesufian dari Hamzah Fansuri memang sangat universal. Bagi Hamzah Fansuri, ketika seorang manusia mencari hakekat Tuhan di dalam
dirinya, maka ia pasti akan menemukan bahwa Tuhan dan hamba tiadalah berbeda. Simak salah satu bait dari “Syair Perahu” yang ditulis oleh
Beliau:
“La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,
Tauhid ma’rifat semata-mata,
Hapuskan kehendak sekalian perkara,
Hamba dan Tuhan tiada berbeda.”
Saya pikir, ungkapan Syeikh Hamzah Fansuri ini sangat berani pada masanya. Beliau dengan berani mengungkapkan hijab atau tirai yang
menutupi pandangan sempit atau ketidaksadaran umat Islam pada masa itu. “La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,” benar sekali pandangan Syeikh
Hamzah Fansuri dalam syair ini. Kalimat tauhid yang menjadi inti ajaran Islam ini, La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, adalah
sesungguhnya akhir dari setiap perkataan, akhir dari pikiran, akhir dari segalah ilusi, untuk menuju keadaan: “Tauhid ma’rifat
semata-mata,” suatu keadaan ketika seluruh pikiran dan pengalaman telah terlampaui, suatu keadaan murni yang dikenal dengan istilah “No-Mind”.
Namun, tentu saja, untuk mencapai keadaan murni ini, seorang sufi harus mampu untuk “Hapuskan kehendak sekalian perkara,” untuk melampaui
setiap kehendak yang masih terikat kepada berbagai perkara yang digerakkan oleh nafsu-nafsu rendah, oleh kepicikan pikiran yang
egoistik, sehingga tercapailah suatu kondisi di mana “Hamba dan Tuhan tiada berbeda.” Inilah sesungguhnya makna dari tauhid, makna dari
ungkapan La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, yaitu suatu keadaan murni ketika seluruh kehendak telah terlampaui, maka hamba dan
Tuhan tiada berbeda. Namun, dalam hal apa hamba dan Tuhan itu tiada berbeda?
Mari kita simak pandangan Syeikh Hamzah Fansuri yang lain dalam kutipan berikut ini dari buku Zinat Al Wahidin (Tentang Keesaan Allah) pada Bab
Kelima:
“……..Alam ini seperti ombak. Keadaan Allah seperti Laut. Sungguh pun
ombak lain daripada laut, pada hakikatnya tiada lain daripada laut.
“Nabi Muhammad pernah bersabda: Allah menjadikan Adam atas RupaNya………….
“Selain itu Rasullah juga pernah bersbada: Allah menjadikan Adam atas
Rupa-Rahman. Karena Rahman disebutkan sebagai Laut, maka Adam
disebutkan sebagai buih…………..”
Berdasarkan uraian dalam bukunya di atas, dapatlah disimpulkan pandangan Hamzah Fansuri tentang ketauhidan universal punya dasar yang
cukup kokoh dalam ajaran Islam berdasarkan sabda Rasul Muhammad sendiri. Hamzah Fansuri menggunakan satu permisalan yang sudah cukup
dikenal di dalam ajaran sufi dan mistikisme di dunia, yaitu ombak dan laut. Bagi Hamzah Fansuri, alam dan segala isinya ini merupakan “Gerak
Ilahi” yang termanifestasi, dan ia ibaratkan sebagai ombak dari lautan. Sedangkan “Keadaan Allah”, suatu kondisi ketika manusia mengalami
Kesadaran Ilahiah atau Kesadaran Murni, seperti lautan itu sendiri. Ombak hanyalah bentuk lain dari laut. Pada hakekatnya, ombak dan laut
itu satu bentuk, yaitu air.
Hamzah Fansuri dengan pengetahuannya yang luas dan mendalam juga menambahkan kutipan dari sabda Rasul yang mungkin tidak cukup populer
di kalangan umat Islam saat ini. Di dalam hadis itu diungkapkan bahwa Allah juga menjadikan Adam menurut Rupa Rahman (Yang Maha Pengasih).
Bagi Hamzah Fansuri, wujud “Lautan Ilahiah” itu adalah sifat Yang Maha Pengasih, adalah “Kasih” itu sendiri. Maka, sesuai dengan sabda Rasul,
jika Allah adalah Kasih itu sendiri, sudah tentu Manusia adalah buih dari Kasih itu sendiri. Inilah inti dari ajaran kesufian dari Syeikh
Hamzah Fansuri, yaitu: Tauhid-Kasih, bahwa hakekat manusia dan seluruh alam ini adalah Kasih.
Dalam hal apa hamba dan Tuhan tiada berbeda? Menurut Hamzah Fansuri, Tuhan dan Hamba tiada berbeda dalam perwujudannya sebagai Kasih.
Kemudian Hamzah Fansuri memperluas definisi Cinta Ilahi ini menjadi “pelayanan tanpa pamrih” kepada sesama manusia dan mahlukNya. Seperti
kutipan berikut dalam kitab yang sama: “Barangsiapa cinta akan Allah, maka hendaknya ia melakukan kebaktian pula”
Relevansi Ajaran Hamzah Fansuri
Pesan-pesan yang dibawa Hamzah Fansuri masih sangat relevan dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia saat ini. Hamzah Fansuri sangat
menekankan agar manusia selalu beusaha untuk menemukan Jati Diri yang Ilahi di dalam diri manusia sendiri. Jati Diri manusia itu sesungguhnya
“berada” dengan kenyataan yang sama, kesatuan umat manusia dan seluruh mahlukNya di dalam Kasih. Seperti yang terungkap dalam terjemahan bebas
saya atas salah satu syairnya yang berjudul “Minuman Para Pencinta” pada bagian 5 di bait 3 berikut ini:
“Rahman itulah yang bernama semesta, Keadaan Tuhan yang wajib disembah dan dipuja. Kenyataan Islam, Nasrani, dan Yahudi sebenarnya
dari Rahman itulah sekalian menjadi nyata.” Coba kita bayangkan, seorang sufi dan ulama pada abad ke 17 di Aceh telah memiliki pandangan “Tauhid-Kasih” seperti ini. Kalau pandangan
Hamzah Fansuri ini disebarluaskan di dunia Islam saat ini, maka selesailah berbagai pertentangan atas nama agama yang disebabkan oleh
fanatisme sempit. Bagi Hamzah Fansuri, hakikat semua agama itu sama, yaitu sifat Rahman dari Allah, sifat Yang Maha Pengasih dari Allah,
atau bisa juga disebut Allah sebagai Yang Maha Kasih itu sendiri. Karena Kasih itu sendiri menjelma manjadi semesta, maka Allah dan
wujudNya sebagai Kasih itu pula sesungguhnya yang wajib disembah dan dipuja oleh semua agama. Esensi agama Islam adalah Kasih. Esensi agama
Nasrani adalah Kasih. Esensi agama Yahudi adalah Kasih. Jadi, apa gunanya melakukan peperangan atas nama agama? Demikianlah kira-kira
menurut pemahaman saya tentang pesan Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya tersebut.
Tetapi, sungguh sangat ironi, jika saat ini yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pertikaian atas nama agama justru semakin berkembang
di Indonesia. Makin lama justru makin menajam. Segelintir orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli agama justru menebarkan bibit permusuhan
antar agama di kalangan umatnya. Toleransi antar umat beragama yang dikembangkan selama ini, sekarang menjadi toleransi semu. Toleransi
ditafsirkan seperti suatu masa jeda perdamaian, untuk bersiap-siap kembali berperang. Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia, paham pertikaian politis dan
ekonomis yang dibalut sebagai pertikaian antara agama Islam dengan Yahudi di negara-negara Timur Tengah dan Arab, saat ini telah diekspor
ke umat Islam di Indonesia. Tiba-tiba saja, saat ini begitu banyak umat Islam di Indonesia yang begitu membenci orang Yahudi, tanpa tahu
sejarah politik dan ekonomi yang mendasari pertikaian di negara-negara Timur Tengah dan Arab. Kita telah terkena propaganda dari kaum
fanatisme sempit untuk memecah belah bangsa Indonesia. Kebencian yang sangat tidak sehat ini, sekarang berkembang lebih jauh kepada umat
beragama yang lainnya, seperti agama Nasrani, Buddha atau Hindu. Begitu juga sebaliknya. Sungguh sangat memprihatinkan perkembangan kehidupan
beragama di Indonesia pada saat ini. Jika kita sebagai bangsa tidak segera sadar, maka kita berada dalam satu situasi kritis menuju
pertikaian antar umat beragama yang lebih luas.
Akankah kita sudi mengimpor peperangan berlatar politik dan ekonomi yang dibumbui istilah “perang agama” di Timur Tengah dan Arab ke tubuh
Ibu Pertiwi yang tercinta ini? Lantas apa solusinya? Coba kembali kita tengok pesan Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya yang berjudul
“Burung Pingai” pada bagian 4 di bait 12:
“Ilmunya ilmu yang pertama,
mazhabnya mazhab ternama,
cahayanya cahaya yang lama,
ke dalam surga bersama-sama.”
Di dalam syair ini, Hamzah Fansuri membuat permisalan Jati Dirinya sebagai “Unggas Ruhani” yang bernama Burung Pingai (Burung Yang
Berkilau Keemasan). Di dalam syair yang terdiri dari empat bagian ini, Hamzah Fansuri tetap menekankan pada soal Rahman, atau Kasih. Bagi
Hamzah Fansuri ilmu tentang Kasih ini adalah ilmu yang pertama. Mazhab atau aliran keagamaannya atau jalan kesufiannya juga adalah “Mazhab
Kasih”. Cahaya sebagai simbol Kesadaran Murni juga adalah cahaya yang lama telah ada sejak pencipataan manusia yaitu “Cahaya Kasih”. Jadi,
kesimpulan Hamzah Fansuri, jika ilmu dan agama dan kesadaran manusia selalu didasari oleh Kasih, maka sudah pasti surga atau “keadaan
bahagia abadi” akan terwujud. Namun, surga itu milik bersama, milik semua umat manusia, tanpa membedakan suku atau agama, pandangan politik
atau ideologinya, status sosial atau jumlah hartanya. Bagi Hamzah Fansuri, surga atau keadaan bahagia abadi itu adalah hak dasar setiap
manusia yang telah menyatu dengan Kasih, dengan Allah itu sendiri.
Semoga ajaran “Sang Sufi Cinta” dari tanah Aceh ini bisa bergema kembali di bumi nusantara, khususnya di bumi Nangroe Aceh Darussalam.
Dan marilah kita sebagai bangsa Indonesia berjuang bersama mewujudkan “surga-kasih” dari Hamzah Fansuri di negeri Ibu Pertiwi ini. Semoga
Kebahagiaan Ilahi selalu menyinari bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia beserta seluruh mahluknya. Amin.
Pustaka:
A. Hasjmy, Ruba’I Hamzah Fansuri: Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1976.
Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.
Sent from my BlackBerry® Powered by YAHOO! & GOOGLE
Be Joyful and Share your Joy with others...
Dalam Gelapnya Malam, Kita justru dapat melihat Indahnya Bintang...
Seorang Sufi dari Aceh pada Abad 17
Dalam sejarah perkembangan agama Islam di Nusantara, ada beberapa tokoh Islam yang dikenal sangat dipengaruhi oleh paham kesufian dari Al Hallaj. Di tanah Jawa kita mengenal tokoh sufi yang bernama Syeikh Siti Jenar, atau sering juga dikenal dengan panggilan Syeikh Lemah Abang.
Syeikh Siti Jenar ini dalam beberapa penelitian para ahli dikatakan salah satu wali dari sembilan wali yang dianggap menjadi penyebar agama Islam di Nusantara. Tetapi, dalam beberapa penelitian ahli lainnya, Syeikh Siti Jenar dianggap bukan salah seorang dari sembilan wali
tersebut. Namun, yang jelas, kisah hidup Syeikh Siti Jenar hampir mirip dengan Al Hallaj di tanah Persia. Syeikh Siti Jenar juga dihukum mati
oleh para wali karena dianggap telah menyesatkan umat dengan ajaran kesufian “Manunggaling Kawulo Gusti”, atau paham kesatuan antara mahluk
dengan Tuhan. Ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” dari Syeikh Siti Jenar ini mirip dengan ajaran “Wahdatul Wujud” yang dikembangkan dan
dipraktekkan oleh Al Hallaj.
Namun, dalam perkembangan berikutnya, juga ada seorang tokoh sufi lain di Nusantara yang juga dipengaruhi sangat kuat oleh paham Wahdatul
Wujud dari Al Hallaj ini, yaitu seorang putra Aceh yang bernama Syeikh Hamzah Fansuri. Beliau adalah seorang sufi dari Aceh yang hidup pada
abad ke-17. Menurut para peneliti dan ahli sejarah Aceh, waktu dan tempat kelahiran Hamzah Fansuri tidaklah diketahui. Ada sebagian ahli
yang mengatakan bahwa ia lahir di negeri Barus yang waktu itu masuk dalam kerajaaan Aceh (sekarang termasuk salah satu daerah di Provinsi
Sumatera Utara). Tetapi Prof. A. Hasjmy dari Aceh berpendapat bahwa Hamzah Fansuri lahir di daerah Fansur, yaitu suatu kampung yang
terletak di antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan).
Dalam jaman kerajaan Aceh Darusalam, kampung Fansur ini dikenal sebagai pusat pendidikan Islam. Kecuali di Aceh sendiri, Syeikh Hamzah Fansuri juga belajar di berbagai
tempat dalam pengembaraannya seperti di Jawa, India, Parsia, Arabia dan lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang alim dan
banyak menguasai ilmu seperti ilmu fiqih, tasauf, logika, filsafat, sastra, dan bahasa.
Sekembalinya dari pengembaraan, beliau mulai mengajar di Barus, kemudian Banda Aceh, dan terakhir beliau mendirikan Dayah (Madrsyah) di
daerah tempat lahirnya, dekat Rundeng (Singkel), di sana kemudian beliau wafat sekitar tahun 1607-1610. Beliau memiliki banyak murid,
tetapi yang paling terkenal adalah Syeikh Syamsudin Sumatrani yang berasal dari Samudra/Pase, yang menjadi qadi (penasehat agama) Sultan
Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1630.
Di dalam hal taswuf atau ilmu kesufian, Syeikh Hamzah Fansuri menganut paham Wahdat Al Wujud, yaitu paham kesatuan antara Mahluk dan Tuhan.
Dalam hal ini beliau sangat dipengaruhi oleh para sufi seperti Muhyidin Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Al Halajj, Bayazid Al Bistami, Fariduddin
Attar, Jalaluddin Rumi, Al Ghazali dan lainnya.
Pada saat itu di Sumatera, khususnya di Aceh, tengah terjadi perdebatan sengit tentang paham Wahdat Al Wujud, melibatkan ahli-ahli tasawuf,
ushuludin, dan fiqih pada saat itu. Perdebatan ini dibicarakan antara lain oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di dalam buku Bustan Al-Salatin,
yang menentang paham Wahdat Al-Wujud dari Syeikh Hamzah Fansuri dan para muridnya.
Perdebatan itu akhirnya memuncak menjadi perseteruan bernuansa politik. Pada masa Sultan Iskandar Tsani (1937-1641), Syeikh Nuruddin Ar-Raniri
diangkat menjadi qadi Sultan. Pada masa itu pula, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri kerap menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran
tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsudin Sumatrani telah sesat, karena termasuk ajaran kaum zindiq dan pantheis. Kemudian atas
saran Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan ulama istana Aceh pada waktu itu, Sultan Iskandar Tsani memerintahkan pembakaran ribuan buku karangan
penulis penganut paham Wahdat Al-Wujud di halaman masjid Raya Kutaraja.
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri juga termasuk yang dibakar. Bahkan, para murid dan pengikut Syeikh Hamzah Fansuri banyak yang dikejar-kejar
dan dibunuh.
Karya-karya Hamzah Fansuri yang selamat dari pembakaran buku di halaman masjid Raya Kutaraja tersebut tidaklah banyak. Di antaranya, buku yang
berjudul Asrarul Arifin, Syarabul Asyikin, serta beberapa puisi sufi seperti Rubai, Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dll.
Semasa hidupnya, Syeikh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan
pelopor keilmuan dan kebudayaan Melayu. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap prilaku politik dan moral raja-raja, bangsawan dan orang-orang
kaya menempatkannya sebagai seorang sufi yang berani pada jamannya.
Karena itu tidaklah mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak menyukai kegiatan Syeikh Hamzah Fansuri dan pengikutnya.
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf dan keagamaan secara sistematis dan bersifat ilmiah di
dalam bahasa Melayu. Sebelum karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri muncul,masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah keagamaan, tasawuf, dan
sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia.
Di bidang sastra, Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan puisi-puisi sufistik yang bercorak Melayu. Bahkan menurut sebagian ahli
sasta Indonesia saat ini, Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang menuliskan puisi berbentuk pantun dalam bahasa Melayu.
Di bidang kebahasaan, sumbangsih Syeikh Hamzah Fansuri juga sangat besar. Sebagai penulis pertama kitab keilmuan dan sastra dalam bahasa
Melayu, beliau telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar bahasa lingua franca (bahasa pergaulan sehari-hari),
menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi seni sastra yang modern.
Tak mengherankan jika pada abad ke-17, bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di berbagai lembaga pendidikan Islam, disusul dengan
penggunaannya oleh para misionaris Kristen untuk penyebaran agama, kemudian digunakan pula oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bahasa
administrasi dan pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Inilah yang memberi peluang besar kepada bahasa Melayu untuk dipilih serta
ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia dan Malaysia.
Namun, yang paling penting, dan sering luput dari perhatian para ahli sejarah dan agama tentang Aceh, adalah ajaran sufi atau tasawuf dari
Syeikh Hamzah Fansuri yang sangat universal dan masih tetap relevan bagi bangsa Indonesia bahkan dunia saat ini. Ajaran sufi dari Syeikh
Hamzah Fansuri sangat spiritual, humanis, dan mampu melintasi sekat-sekat kemanusiaan yang tercipta akibat pandangan sempit kesukuan,
ras, serta agama.
Jalan Sufi adalah Jalan Menemukan Jati Diri Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, seseorang yang hendak memasuki jalan sufi, jalan spiritual, jalan untuk bertemu Tuhan yang abdi, haruslah
memulai perjalanannya dengan mengenal Jati Dirinya terlebih dahulu. Simaklah syair yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:
“Sidang Faqir empunya kata,
Tuhanmu Zahir terlalu nyata.
Jika sungguh engkau bermata,
lihatlah dirimu rata-rata”.
Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang
yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau
mengenali dirinya sendiri setiap saat.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu,
suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau spiritual
di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah meditasi.
Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang
Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9: “Hapuskan akal dan rasamu, lenyapkan badan dan nyawamu. Pejamkan hendak kedua matamu, di sana kaulihat permai rupamu”.
Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan kesufian apa pun harus dimulai dengan
“hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi “no-mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran
Ilahi. Untuk mencapai kondisi “no-mind” tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan
keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa).
Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang
senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh
Hamzah Fansuri.
Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri mengisahkan pengalamannya mencari dan menemukan Tuhan, menemukan Allah yang lebih dekat dari urat lehernya
sendiri, menemukan Jati Dirinya sendiri. Simak syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 3 di bait 14: “Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,
mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah. Dari Barus ke Qudus terlalu payah, akhirnya dijumpa di dalam Rumah”.
Sebagai seorang Guru Sufi atau Murshid, Syeikh Hamzah Fansuri memang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri.
Seorang Murshid hanya membagi pesan atau memberi contoh berdasarkan pengalaman yang pernah dilakoninya. Begitu pula dengan Syeikh Hamzah
Fansuri, beliau dengan jujur mengungkapkan bahwa selama ini ia telah bersusah payah mencari Tuhan di luar dirinya, hal ini disimbolkan
dengan Ka’bah atau pun Qudus (nama mesjid di Yerusalem tempat kiblat sholat pertama umat Islam sebelum Ka’bah di Mekkah). Proses pencarian
Tuhan di luar dirinya tersebut telah membawanya mengembara ke mana-mana meninggalkan kampung halamannya yang bernama Barus di Aceh. Tetapi,
akhirnya beliau tersadar, bahwa Tuhan yang selama ini dicarinya di luar diri, ternyata “dijumpa” di dalam “Rumah”, di dalam dirinya sendiri.
Proses “perjumpaan” dengan Tuhan di dalam dirinya sendiri ini telah mengakhiri “pencarian” yang meletihkan dari seorang Hamzah Fansuri,
sehingga beliau layak disebut sebagai seorang Syeikh, seorang Guru Sufi, seorang Murshid yang mendidik para muridnya berdasarkan
pengalaman pribadinya sendiri.
Bagi seorang sufi sejati, penemuan Tuhan sebagai Jati Dirinya sendiri akan membuat hidupnya benar-benar bebas dari segala keterikatan apa
pun, ia berada dalam “Kemiskinan Ilahiah”, kemiskinan yang membebaskannya dari segala kemelekatan pada kesementaraan benda-benda,
pada ilusi dunia yang tercipta dari pikirannya sendiri.
Ia bersiap sedia mengurbankan dirinya demi melayani Kehendak Ilahi. Ia tidak lagi tersekat-sekat dalam pandangan sempit kesukuan atau fanatisme agama,
karena ia telah menyadari bahwa keberadaannya yang sementara selalu berada dalam Keberadaan Sang Maha Abadi. Ia sadar bahwa fungsinya di
dalam dunia hanyalah menjadi perantara atau pembawa pesan dari Keabadian, dari Allah yang senantiasa bersemayam dalam hatinya. Itulah
yang diungkapkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri, yang saya kutip secara bebas, di dalam syair yang berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 1
di bait 11: Hamzah miskin orang terbebaskan, seperti Nabi Ismail menjadi qurban. Fansuri bukannya Persia lagi Arabi, selalu menjadi perantara dengan yang Baqi”.
Kesatuan Hamba dan Tuhan di dalam Kasih Pandangan kesufian dari Hamzah Fansuri memang sangat universal. Bagi Hamzah Fansuri, ketika seorang manusia mencari hakekat Tuhan di dalam
dirinya, maka ia pasti akan menemukan bahwa Tuhan dan hamba tiadalah berbeda. Simak salah satu bait dari “Syair Perahu” yang ditulis oleh
Beliau:
“La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,
Tauhid ma’rifat semata-mata,
Hapuskan kehendak sekalian perkara,
Hamba dan Tuhan tiada berbeda.”
Saya pikir, ungkapan Syeikh Hamzah Fansuri ini sangat berani pada masanya. Beliau dengan berani mengungkapkan hijab atau tirai yang
menutupi pandangan sempit atau ketidaksadaran umat Islam pada masa itu. “La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,” benar sekali pandangan Syeikh
Hamzah Fansuri dalam syair ini. Kalimat tauhid yang menjadi inti ajaran Islam ini, La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, adalah
sesungguhnya akhir dari setiap perkataan, akhir dari pikiran, akhir dari segalah ilusi, untuk menuju keadaan: “Tauhid ma’rifat
semata-mata,” suatu keadaan ketika seluruh pikiran dan pengalaman telah terlampaui, suatu keadaan murni yang dikenal dengan istilah “No-Mind”.
Namun, tentu saja, untuk mencapai keadaan murni ini, seorang sufi harus mampu untuk “Hapuskan kehendak sekalian perkara,” untuk melampaui
setiap kehendak yang masih terikat kepada berbagai perkara yang digerakkan oleh nafsu-nafsu rendah, oleh kepicikan pikiran yang
egoistik, sehingga tercapailah suatu kondisi di mana “Hamba dan Tuhan tiada berbeda.” Inilah sesungguhnya makna dari tauhid, makna dari
ungkapan La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, yaitu suatu keadaan murni ketika seluruh kehendak telah terlampaui, maka hamba dan
Tuhan tiada berbeda. Namun, dalam hal apa hamba dan Tuhan itu tiada berbeda?
Mari kita simak pandangan Syeikh Hamzah Fansuri yang lain dalam kutipan berikut ini dari buku Zinat Al Wahidin (Tentang Keesaan Allah) pada Bab
Kelima:
“……..Alam ini seperti ombak. Keadaan Allah seperti Laut. Sungguh pun
ombak lain daripada laut, pada hakikatnya tiada lain daripada laut.
“Nabi Muhammad pernah bersabda: Allah menjadikan Adam atas RupaNya………….
“Selain itu Rasullah juga pernah bersbada: Allah menjadikan Adam atas
Rupa-Rahman. Karena Rahman disebutkan sebagai Laut, maka Adam
disebutkan sebagai buih…………..”
Berdasarkan uraian dalam bukunya di atas, dapatlah disimpulkan pandangan Hamzah Fansuri tentang ketauhidan universal punya dasar yang
cukup kokoh dalam ajaran Islam berdasarkan sabda Rasul Muhammad sendiri. Hamzah Fansuri menggunakan satu permisalan yang sudah cukup
dikenal di dalam ajaran sufi dan mistikisme di dunia, yaitu ombak dan laut. Bagi Hamzah Fansuri, alam dan segala isinya ini merupakan “Gerak
Ilahi” yang termanifestasi, dan ia ibaratkan sebagai ombak dari lautan. Sedangkan “Keadaan Allah”, suatu kondisi ketika manusia mengalami
Kesadaran Ilahiah atau Kesadaran Murni, seperti lautan itu sendiri. Ombak hanyalah bentuk lain dari laut. Pada hakekatnya, ombak dan laut
itu satu bentuk, yaitu air.
Hamzah Fansuri dengan pengetahuannya yang luas dan mendalam juga menambahkan kutipan dari sabda Rasul yang mungkin tidak cukup populer
di kalangan umat Islam saat ini. Di dalam hadis itu diungkapkan bahwa Allah juga menjadikan Adam menurut Rupa Rahman (Yang Maha Pengasih).
Bagi Hamzah Fansuri, wujud “Lautan Ilahiah” itu adalah sifat Yang Maha Pengasih, adalah “Kasih” itu sendiri. Maka, sesuai dengan sabda Rasul,
jika Allah adalah Kasih itu sendiri, sudah tentu Manusia adalah buih dari Kasih itu sendiri. Inilah inti dari ajaran kesufian dari Syeikh
Hamzah Fansuri, yaitu: Tauhid-Kasih, bahwa hakekat manusia dan seluruh alam ini adalah Kasih.
Dalam hal apa hamba dan Tuhan tiada berbeda? Menurut Hamzah Fansuri, Tuhan dan Hamba tiada berbeda dalam perwujudannya sebagai Kasih.
Kemudian Hamzah Fansuri memperluas definisi Cinta Ilahi ini menjadi “pelayanan tanpa pamrih” kepada sesama manusia dan mahlukNya. Seperti
kutipan berikut dalam kitab yang sama: “Barangsiapa cinta akan Allah, maka hendaknya ia melakukan kebaktian pula”
Relevansi Ajaran Hamzah Fansuri
Pesan-pesan yang dibawa Hamzah Fansuri masih sangat relevan dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia saat ini. Hamzah Fansuri sangat
menekankan agar manusia selalu beusaha untuk menemukan Jati Diri yang Ilahi di dalam diri manusia sendiri. Jati Diri manusia itu sesungguhnya
“berada” dengan kenyataan yang sama, kesatuan umat manusia dan seluruh mahlukNya di dalam Kasih. Seperti yang terungkap dalam terjemahan bebas
saya atas salah satu syairnya yang berjudul “Minuman Para Pencinta” pada bagian 5 di bait 3 berikut ini:
“Rahman itulah yang bernama semesta, Keadaan Tuhan yang wajib disembah dan dipuja. Kenyataan Islam, Nasrani, dan Yahudi sebenarnya
dari Rahman itulah sekalian menjadi nyata.” Coba kita bayangkan, seorang sufi dan ulama pada abad ke 17 di Aceh telah memiliki pandangan “Tauhid-Kasih” seperti ini. Kalau pandangan
Hamzah Fansuri ini disebarluaskan di dunia Islam saat ini, maka selesailah berbagai pertentangan atas nama agama yang disebabkan oleh
fanatisme sempit. Bagi Hamzah Fansuri, hakikat semua agama itu sama, yaitu sifat Rahman dari Allah, sifat Yang Maha Pengasih dari Allah,
atau bisa juga disebut Allah sebagai Yang Maha Kasih itu sendiri. Karena Kasih itu sendiri menjelma manjadi semesta, maka Allah dan
wujudNya sebagai Kasih itu pula sesungguhnya yang wajib disembah dan dipuja oleh semua agama. Esensi agama Islam adalah Kasih. Esensi agama
Nasrani adalah Kasih. Esensi agama Yahudi adalah Kasih. Jadi, apa gunanya melakukan peperangan atas nama agama? Demikianlah kira-kira
menurut pemahaman saya tentang pesan Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya tersebut.
Tetapi, sungguh sangat ironi, jika saat ini yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pertikaian atas nama agama justru semakin berkembang
di Indonesia. Makin lama justru makin menajam. Segelintir orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli agama justru menebarkan bibit permusuhan
antar agama di kalangan umatnya. Toleransi antar umat beragama yang dikembangkan selama ini, sekarang menjadi toleransi semu. Toleransi
ditafsirkan seperti suatu masa jeda perdamaian, untuk bersiap-siap kembali berperang. Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia, paham pertikaian politis dan
ekonomis yang dibalut sebagai pertikaian antara agama Islam dengan Yahudi di negara-negara Timur Tengah dan Arab, saat ini telah diekspor
ke umat Islam di Indonesia. Tiba-tiba saja, saat ini begitu banyak umat Islam di Indonesia yang begitu membenci orang Yahudi, tanpa tahu
sejarah politik dan ekonomi yang mendasari pertikaian di negara-negara Timur Tengah dan Arab. Kita telah terkena propaganda dari kaum
fanatisme sempit untuk memecah belah bangsa Indonesia. Kebencian yang sangat tidak sehat ini, sekarang berkembang lebih jauh kepada umat
beragama yang lainnya, seperti agama Nasrani, Buddha atau Hindu. Begitu juga sebaliknya. Sungguh sangat memprihatinkan perkembangan kehidupan
beragama di Indonesia pada saat ini. Jika kita sebagai bangsa tidak segera sadar, maka kita berada dalam satu situasi kritis menuju
pertikaian antar umat beragama yang lebih luas.
Akankah kita sudi mengimpor peperangan berlatar politik dan ekonomi yang dibumbui istilah “perang agama” di Timur Tengah dan Arab ke tubuh
Ibu Pertiwi yang tercinta ini? Lantas apa solusinya? Coba kembali kita tengok pesan Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya yang berjudul
“Burung Pingai” pada bagian 4 di bait 12:
“Ilmunya ilmu yang pertama,
mazhabnya mazhab ternama,
cahayanya cahaya yang lama,
ke dalam surga bersama-sama.”
Di dalam syair ini, Hamzah Fansuri membuat permisalan Jati Dirinya sebagai “Unggas Ruhani” yang bernama Burung Pingai (Burung Yang
Berkilau Keemasan). Di dalam syair yang terdiri dari empat bagian ini, Hamzah Fansuri tetap menekankan pada soal Rahman, atau Kasih. Bagi
Hamzah Fansuri ilmu tentang Kasih ini adalah ilmu yang pertama. Mazhab atau aliran keagamaannya atau jalan kesufiannya juga adalah “Mazhab
Kasih”. Cahaya sebagai simbol Kesadaran Murni juga adalah cahaya yang lama telah ada sejak pencipataan manusia yaitu “Cahaya Kasih”. Jadi,
kesimpulan Hamzah Fansuri, jika ilmu dan agama dan kesadaran manusia selalu didasari oleh Kasih, maka sudah pasti surga atau “keadaan
bahagia abadi” akan terwujud. Namun, surga itu milik bersama, milik semua umat manusia, tanpa membedakan suku atau agama, pandangan politik
atau ideologinya, status sosial atau jumlah hartanya. Bagi Hamzah Fansuri, surga atau keadaan bahagia abadi itu adalah hak dasar setiap
manusia yang telah menyatu dengan Kasih, dengan Allah itu sendiri.
Semoga ajaran “Sang Sufi Cinta” dari tanah Aceh ini bisa bergema kembali di bumi nusantara, khususnya di bumi Nangroe Aceh Darussalam.
Dan marilah kita sebagai bangsa Indonesia berjuang bersama mewujudkan “surga-kasih” dari Hamzah Fansuri di negeri Ibu Pertiwi ini. Semoga
Kebahagiaan Ilahi selalu menyinari bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia beserta seluruh mahluknya. Amin.
Pustaka:
A. Hasjmy, Ruba’I Hamzah Fansuri: Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1976.
Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.
Sent from my BlackBerry® Powered by YAHOO! & GOOGLE
Be Joyful and Share your Joy with others...
Dalam Gelapnya Malam, Kita justru dapat melihat Indahnya Bintang...
Selasa, 03 Februari 2009
MENCARI Oleh: Nikolas
Separuh hidupku telah pergi
Sepanjang hariku terlalu letih
Berjalan, berlari dan terdiam sepi
Di mana sisa hidupku kini?
ooooooooooh lelah, aku mencari...
ooooooooooh sibuk, kembaliku menanti...
Terdiamku memilih setelah melayang pergi...
Bingung dengan keangkuhan hati...
Kemarin, sekarang, mungkin esok akan terlewati
Detik-detik panjang tak terhenti
Kadang membosankan, tapi esok menjadi misteri
Aku ingin berlari, tinggal tubuh kotor ini
ooooooooooh terkutuklah hari!!!
ooooooooooh terlalu banyak orang mencela!!!
ooooooooooh terlalu sering orang memfitnah!!!
ooooooooooh aku ingin muntah!!!
Jumat, 23 Januari 2009
Di mana harta Soeharto???
TD Pardede, tokoh pengusaha asal Medan
jaman dulu jika masih hidup tentu akan tercengang membaca berita majalah Tempo
minggu ini :
“ Dari luar ruangan, sejumlah tokoh melihat pertemuan itu berlangsung
dingin. Teh dalam cangkir berlogo Istana Presiden yang diangkut dari rumah
Soeharto, tak disentuh. Hendarman – Jaksa Agung – kata sumber itu, lalu
mengajukan konsep penyelesaian di luar pengadilan. Diantaranya, keluarga
Soeharto harus membayar 4 trilyun kepada negara. Ini sepertiga dari tuntutan
Pemerintah, yakni US $ 420 juta dan Rp 185 milyar plus ganti rugi immaterial Rp
10 trilyun atas Yayasan Supersemar .
Mbak Tutut dan adik adiknya hanya terdiam mendengar angka yang diajukan
Pemerintah “.
Si ompung yang dekat dengan Bung Karno pasti teringat saat suatu
hari dia dipanggil mendadak ke Jakarta.
Mengetahui betapa miskinnya sang Presidennya. Setelah ngobrol ngobrol bersama
menteri lainnya, Presiden Republik Indonesia itu mengajak TD Pardede
ke pojok ruangan.
“ Pardede, bisa kau pinjamkan aku uang ? “
Gelagapan karena langsung ditodong oleh penguasa negeri. TD Pardede merogoh
saku saku jasnya dan memberikan seribu dollar dari kantongnya. Namun Bung Karno
hanya mengambil secukupnya dan mengembalikan sisanya kepada Pardede.
Lain cerita salah satu ajudan terakhir,Putu Sugianitri seorang bekas
Polisi wanita yang juga harus pensiun tanpa kejelasan. Suatu saat setelah tidak
menjadi presiden, Bung Karno jalan jalan keliling kota dan tiba tiba ingin buah rambutan. ” Tri
, beli rambutan “.
” Uangnya mana ? ” tanya si polwan asal Bali itu.
” sing ngelah pis ” kata Bung Karno dalam bahasa Bali yang artinya ”
saya tak punya uang “.
Jadilah sang ajudan memakai uang pribadinya untuk mantan presiden yang tidak
memiliki uang.
Ada juga
cerita dari Bang Ali Sadikin.
Saat ia menjabat Menko Maritim. Ia ditanya oleh Bung karno apakah ia bisa
membantu bisnis mertua Bung Karno yang berkaitan dengan perijinan pelabuhan.
Setelah dipelajari Ali Sadikin mengatakan tidak bisa. Peraturan mengatakan
demikian.
“ Ya sudah , kalau tidak bisa “ kata Bung Karno.
Bang Ali berpikir. Luar biasa ini manusia. Padahal sebagai Presiden ia bisa
memaksakan memberi perintah. Yang mengagumkan Bung Karno selanjutnya tidak
pernah dendam, bahkan kelak mengangkat May.Jend KKO Ali Sadikin sebagai Gubernur
Jakarta.
Dari
cerita tersebut diatas, kita tahu Bung Karno tidak pernah peduli dengan uang
atau harta. Ketika turun dari kekuasaan kita tak pernah tahu bahwa Bung Karno
dan keluarganya meninggalkan kekayaan yang melimpah ruah.
Saat mendapat surat
dari Jenderal Soeharto, bahwa Bung Karno harus meninggalkan Istana Merdeka
sebelum tanggal 16 Agustus 1967. Maka teman teman Bung Karno yang mengetahui
rencana itu segera menawarkan dan menyediakan 6 rumah untuk tempat tinggal dan
putera puteri Bung Karno.
Mendengar hal itu Bung Karno seketika marah, bahwa ia tidak menghendaki rumah
rumah itu. Ia menginginkan semua anak anaknya pindah ke rumah Ibu Fatmawati.
“ Semua anak anak kalau meninggalkan Istana tidak boleh membawa apa apa,
kecuali buku buku pelajaran, perhiasan sendiri dan pakaian sendiri. Barang
barang lain seperti radio , televisi dan lain lain tidak boleh dibawa ! “
Demikian Bung Karno memerintahkan.
Guntur
- putera tertua – setelah mendengar penjelasan itu merasa kecewa, karena ia
sudah terlanjur menggulung kabel antenna TV yang akhirnya tidak boleh dibawa
pergi.
Sementara Ibu Fatmawati mengeluh karena kamar di rumahnya tidak cukup.
Tak berapa lama datang truk dari Polisi yang membawa 4 tempat tidur dari kayu
yang bersusun, dengan kasur dan bantalnya tapi tanpa sprei dan sarung bantal.
Juga beras 6 karung.
“ Anak anakku semua disuruh tidur di tempat tidur susun dari kayu, tanpa
sprei dan sarung bantal “
Konon Ibu Fat, marah marah kepada utusan yang membawa perlengkapan itu.
Bung Karno keluar dari istana dengan mengenakan kaos oblong cap cabe dan
celana piyama warna krem. Baju piyamanya disampirkan ke pundak, dan ia memakai
sandal bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas Koran yang
digulung, berisi bendera pusaka merah putih. Bendera yang dijahit oleh istrinya
sendiri, ibu Fatmawati ketika masa proklamasi kemerdekaan dahulu.
Tak ada voor ridjer, pengawalan atau penghormatan seperti ketika
Presiden Soeharto – yang diantar Jenderal Wiranto sampai ke mobil Mercedes -
meninggalkan Istana Merdeka setelah menyerahkan jabatannya kepada Habibie.
Ia meninggalkan istana dengan mobil vw kodok yang dikendarai seorang supir
asal kepolisian. Salah seorang anggota kawal pribadinya membawakan ovaltine,
minuman air jeruk, air teh, air putih, kue kue serta obat obatan Bung Karno.
Itulah seluruh harta yang dimiliki Bung Karno ketika meninggalkan Istana.
Selebihnya ditinggalkan.
Kelak harta kekayaan Soekarno yang ditinggal di Istana didata oleh pihak
penguasa dengan dibuatkan berita acara. Barang barang itu mulai dari logam emas
batangan, lukisan lukisan, buku buku, pakaian, minyak wangi, bolpen, uang
dollar yang semuanya bernilai tidak sedikit. Dan semua itu tidak pernah
diserahkan kepada Bung Karno atau keluarganya. Tidak jelas siapa yang mewarisi.
Pada akhirnya tidak penting juga mewarisi sebuah kekayaan. Karena dia bukan
berhala harta. Hanya sebuah janji yang tersisa yang wajib kita jaga, untuk
sebuah Indonesia
yang bersatu dan bermartabat. Tidak ada juga deal deal khusus. Hanya sebuah
persetujuan dalam segenggam bait puisi Chiril Anwar.
Janji itu terus melintas jaman. Sampai kapanpun.
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh....
Kiamatkah???
Perang Gaza dalam Lensa Kiamat...Oleh: Hermanto Harun (Mahasiswa Program S-3, Ph.D., University Kebangsaan Malaysia).
Seorang akademisi Prancis yang berdarah Yahudi, Andre Nocy mengungkapkan
gumamnya atas ekspansi Zionis Isreal ke Gaza, bahwa kebiadaban Zionis
Israel di Gaza sekarang ini persis sama dengan perilaku kebiadaban yang
pernah dilakukan Adolf Hitler terhadap sebagian negara Eropa.
Kemudian, Andre juga mengucapkan do’a “celakalah bagi Israel, saya sungguh
malu atas perilaku mereka dan semoga tuhan melaknat mereka
selama-lamanya” . Ungkapan yang dirilis oleh al-Jazeera (13/10/2009) yang
dikutip dari Quds Press tersebut setidaknya menunjukkan bahwa dari
kalangan Yahudi sendiri sudah muak dengan kebiadaan Zionis Israel
sekarang. Bagaimana tidak, sampai sa’at ini, hari ke 21 (17/01/2009)
kekejaman militer Zionis di Gaza tersebut telah menelan korban 5300 orang
lebih, 4300 orang luka-luka dan 1170 syuhada. Dari jumlah para syuhada
tersebut, 410 anak-anak, 110 perempuan dan 100 orang usia senja. Dari
semua jumlah korban baik yang syahid maupun yang luka, hampir 50 persen
korbannya adalah anak-anak dan kaum perempuan (alqassam.ps) .
Kebrutalan Zionis di negeri tiga agama itu tidak hanya sebatas paradigma
perang, akan tetapi sudah memasuki ranah pembantaian etnis (al-harb
al-ibadah) atau yang disebut seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin
dengan istilah Genocida. Dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe
(1944), Lemkin mengartikan Genosida sebagai sebuah pembantaian
besar-besaran sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan
maksud memunahkan bangsa tersebut.
Istilah Genosida memang tepat untuk potret kebiadaban Zionis Israel, mengingat sejarah berdirinya Israel sangat identik dengan perilaku barbaristik yang setiap jengkal
terotorialnya digaransikan dengan darah rakyat Palestina.
Jika ditelisik dalam lensa sejarah, lakon Zionis Yahudi di tanah Palestina
sekarang bukanlah hal yang baru, mengingat konflik Palestina-Israel
bukanlah konflik satu bangsa dengan bangsa lain, tapi konflik peradaban,
atau bahkan konflik agama yang telah direkam sejarah dalam usia
panjangnya.
Bentangan sejarah perilaku congkak Yahudi dibuktikan dengan
memusuhi semua ras besar dunia. Konflik antara Nabi Muhammad saw dengan
kaum Yahudi di Madinah, konflik antara Yahudi dan Romawi, konflik antara
Yahudi dengan negara-negara Eropa, konflik antara Musa dengan Fir'aun,
bahkan konflik antara nabi Yusuf dengan saudara-saudarnaya.
Lakon kebiadaban Israel saat ini hanyalah pengulangan peristiwa, semenjak era
Perang Arab, pembakaran Masjid al-Aqsha, tragedi Sabra Satila, Intifadhah
akhir 80-an, tragedi al-Khalil Hebron, penembakan Muhammad al-Durrah,
pembunuhan Syekh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Rantisi dan pejuang Palestina
lainya. Perbedaan keganasan Israel sekarang dengan yang terdahulu hanya
pada waktu dan pelaku.
Dalam perjalanannya, keberadaan Zionis Isreal memang selalu bersama aliran
darah. Semenjak terbentuk pada 1897 dan diproklamasikan di Swiss yang
akhirnya membuat keputusan bahwa bangsa Yahudi harus kembali ke Palestina,
maka dari sana cerita simbahan darah rakyat Palestina selalu menjadi tinta
dalam kelam sejarah. Bermula dari kongres di Swiss hingga terbentuknya
negara Israel Raya 1948 yang didudukung sepenuh oleh negera-negara Barat,
perilaku bangsa ”kera” tersebut selalu membuat ulah.
Hingga hari ini, kebejatan Israel terhadap rakyat Palestina seolah hanya menjadi cerita
yang tidak berarti bagi dunia. Bangsa Barat bahkan ikut merestui
kepongahan Israel dengan tanpa reserve. Hak Asasi Manusia yang didewakan
oleh pengagum Barat, hanya berlaku bagi kesalahan ras dan bangsa lain
terhadap Yahudi, namun tidak bermakna apapun, jika kejahatan Yahudi bagi
bangsa selain mereka.
Lantas, kita patut bertanya, apakah kekejaman dan kebiadaban Zionis Yahudi terhadap bangsa Palestina tersebut sebatas persoalan politik, sebagaimana yang dikampanyekan kaum liberal di
Indonesia dalam menjustifikasi penegasan Ehud Olmert, bahwa target mereka
hanyalah menumbangkan Hamas. Atau konflik dalam pentas sejarah ini sudah
marasuki wilayah agama?
Jika melihat persepsi sejarah, sulit menapikan bahwa kucuran darah yang
selalu mengalir di bumi Palestina tersebut hanya bermotif politik semata.
Sebab berdirinya Israel tahun 1948 merupakan mimpi besar Yahudi sejak masa
Musa, Dawud, Sulaiman, bahkan zaman Nabi Muhammad saw. Yahudi sangat
membutuhkan "Kerajaan Bani Israil" untuk mengalahkan ras selain mereka.
Dan ketika Yahudi menakulkkan al-Quds pada tahun 1967, pasukan Israel
berkumpul di tembok ratapan. Mereka berteriak dengan menyatakan ”hari ini
kita berhasil membalas dendam perang Khaibar” kemudian mereka menerikakan
”tumpangkan buah misy-misy di atas buah Apel, agama Muhammad telah lari
dan pergi”. Selain itu juga, Rundolf Churchil menyatakan bahwa lepasnya
al-Quds dari penguasaan Islam merupakan impian bersama umat Kristiani dan
Yahudi. Parlemen Israel telah mengeluarkan keputusan mengenai al-Quds,
yaitu sebagai kota milik bangsa Yahudi dan sekali-kali tidak boleh kembali
ke tangan umat Islam.
Lebih jauh dari itu, konflik di Timur Tengah yang disebabkan oleh Isreal
merupakan skenario Yahudi dalam menerjemahkan doktrin Talmud yang sangat
mereka yakini, bahwa negara Isreal Raya berdiri dalam batasan sungai Nil
di Mesir sampai sungai Furat di Iraq. Profesor Jamal Abd al-Hadi dan Wafa
Muhammed Rif’at dalam bukunya al-Tariq Ila Bayt al-Maqdis mengungkapkan
beberapa doktrin Talmud yang dijadikan Yahudi sebagai acuan dalam
menjustifikasikan ambisi bejat mereka, diantaranya adalah, pertama, asal
manusia selain Yahudi sama dengan asal hewan. Kedua, arwah orang Yahudi
sangat mulia di sisi Tuhan, sementara arwah manusia selain mereka adalah
arwah setan yang menyerupai ruh hewan. Ketiga, membunuh selain Yahudi
merupakan kebajikan yang akan dibalas oleh Tuhan. Jika tidak mampu
membunuh selain Yahudi secara langsung, maka wajib bagi Yahudi membuat
segala cara untuk kehancuran selain mereka. Keempat, kehidupan orang
selain Yahudi adalah milik Yahudi, begitu juga dengan harta mereka.
Kelima, perbedaan manusia dengan hewan sama seperti Yahudi dengan manusia
selain mereka.
Ada banyak teks Talmud yang diimani oleh Zionis Israel untuk menghancurkan
manusia selain mereka. Dengan demikian, ambisi Zionis tidak akan pernah
padam sebelum cita mereka terbukti nyata. Bagi kaum Zionis Isreal, segala
cara menjadi halal demi kepentingan dan keculasan mereka. Sifat kaum
Zionis Yahudi itu mewarisi sifat besar, yaitu sifat durhaka diturunkan
dari sifat saudara-saudara Yusuf (seayah berbeda ibu). Disana sudah
terpupuk bakat-bakat kelicikan, dengki, kebohongan, dan sebagainya. Walau
sifat-sifat itu sebatas potensi, bukan kemutlakan takdir.
Jadi, kebiadaban Zionis Israel saat ini di Gaza hanyalah sebagian dari
konsekuensi dari dendam sejarah. Awalnya, Bani Israil (Yahudi) hanyalah
sebuah kaum yang selalu mendapat bimbingan seorang Nabi. Namun dinamika
sejarah Yahudi yang sangat panjang melahirkan watak biadab dan tidak
berprikemanusiaan. Semua karakter buruk Yahudi tersebut seolah telah
menjadi skenario Tuhan untuk menjadi cobaan di akhir zaman.
Mungkin, kelakuan Zionis Yahudi yang terhadap rakyat Palestina merupakan rahasia
yang mulai terkuak untuk membuka mata dunia. Karena Israel selalu picik
dalam mempengaruhi opini manusia. Atau mingkin, kebiadaban Zionis Israel
sekarang ini menjadi potret dari lensa kiamat, sebagaimana isyarat baginda
Nabi dalam sabdanya, bahwa nanti di akhir zaman, ketika kiamat sudha
mendekat, akan terjadi perang antara muslim dan Yahudi. Jika benar
demikian, maka kebiadaban Zionis Israel di Gaza sekarang ini bukanlah
perilaku akhir mereka. Semua itu hanya replay sejarah dan postponed
scenario sebelum go with new aggression.
*Dosen Fakultas Syariah IAIN STS Jambi. Mahasiswa Program Doktor
University Kebangsaan Malaysia......-Generasi Perang Pikirin-....
Seorang akademisi Prancis yang berdarah Yahudi, Andre Nocy mengungkapkan
gumamnya atas ekspansi Zionis Isreal ke Gaza, bahwa kebiadaban Zionis
Israel di Gaza sekarang ini persis sama dengan perilaku kebiadaban yang
pernah dilakukan Adolf Hitler terhadap sebagian negara Eropa.
Kemudian, Andre juga mengucapkan do’a “celakalah bagi Israel, saya sungguh
malu atas perilaku mereka dan semoga tuhan melaknat mereka
selama-lamanya” . Ungkapan yang dirilis oleh al-Jazeera (13/10/2009) yang
dikutip dari Quds Press tersebut setidaknya menunjukkan bahwa dari
kalangan Yahudi sendiri sudah muak dengan kebiadaan Zionis Israel
sekarang. Bagaimana tidak, sampai sa’at ini, hari ke 21 (17/01/2009)
kekejaman militer Zionis di Gaza tersebut telah menelan korban 5300 orang
lebih, 4300 orang luka-luka dan 1170 syuhada. Dari jumlah para syuhada
tersebut, 410 anak-anak, 110 perempuan dan 100 orang usia senja. Dari
semua jumlah korban baik yang syahid maupun yang luka, hampir 50 persen
korbannya adalah anak-anak dan kaum perempuan (alqassam.ps) .
Kebrutalan Zionis di negeri tiga agama itu tidak hanya sebatas paradigma
perang, akan tetapi sudah memasuki ranah pembantaian etnis (al-harb
al-ibadah) atau yang disebut seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin
dengan istilah Genocida. Dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe
(1944), Lemkin mengartikan Genosida sebagai sebuah pembantaian
besar-besaran sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan
maksud memunahkan bangsa tersebut.
Istilah Genosida memang tepat untuk potret kebiadaban Zionis Israel, mengingat sejarah berdirinya Israel sangat identik dengan perilaku barbaristik yang setiap jengkal
terotorialnya digaransikan dengan darah rakyat Palestina.
Jika ditelisik dalam lensa sejarah, lakon Zionis Yahudi di tanah Palestina
sekarang bukanlah hal yang baru, mengingat konflik Palestina-Israel
bukanlah konflik satu bangsa dengan bangsa lain, tapi konflik peradaban,
atau bahkan konflik agama yang telah direkam sejarah dalam usia
panjangnya.
Bentangan sejarah perilaku congkak Yahudi dibuktikan dengan
memusuhi semua ras besar dunia. Konflik antara Nabi Muhammad saw dengan
kaum Yahudi di Madinah, konflik antara Yahudi dan Romawi, konflik antara
Yahudi dengan negara-negara Eropa, konflik antara Musa dengan Fir'aun,
bahkan konflik antara nabi Yusuf dengan saudara-saudarnaya.
Lakon kebiadaban Israel saat ini hanyalah pengulangan peristiwa, semenjak era
Perang Arab, pembakaran Masjid al-Aqsha, tragedi Sabra Satila, Intifadhah
akhir 80-an, tragedi al-Khalil Hebron, penembakan Muhammad al-Durrah,
pembunuhan Syekh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Rantisi dan pejuang Palestina
lainya. Perbedaan keganasan Israel sekarang dengan yang terdahulu hanya
pada waktu dan pelaku.
Dalam perjalanannya, keberadaan Zionis Isreal memang selalu bersama aliran
darah. Semenjak terbentuk pada 1897 dan diproklamasikan di Swiss yang
akhirnya membuat keputusan bahwa bangsa Yahudi harus kembali ke Palestina,
maka dari sana cerita simbahan darah rakyat Palestina selalu menjadi tinta
dalam kelam sejarah. Bermula dari kongres di Swiss hingga terbentuknya
negara Israel Raya 1948 yang didudukung sepenuh oleh negera-negara Barat,
perilaku bangsa ”kera” tersebut selalu membuat ulah.
Hingga hari ini, kebejatan Israel terhadap rakyat Palestina seolah hanya menjadi cerita
yang tidak berarti bagi dunia. Bangsa Barat bahkan ikut merestui
kepongahan Israel dengan tanpa reserve. Hak Asasi Manusia yang didewakan
oleh pengagum Barat, hanya berlaku bagi kesalahan ras dan bangsa lain
terhadap Yahudi, namun tidak bermakna apapun, jika kejahatan Yahudi bagi
bangsa selain mereka.
Lantas, kita patut bertanya, apakah kekejaman dan kebiadaban Zionis Yahudi terhadap bangsa Palestina tersebut sebatas persoalan politik, sebagaimana yang dikampanyekan kaum liberal di
Indonesia dalam menjustifikasi penegasan Ehud Olmert, bahwa target mereka
hanyalah menumbangkan Hamas. Atau konflik dalam pentas sejarah ini sudah
marasuki wilayah agama?
Jika melihat persepsi sejarah, sulit menapikan bahwa kucuran darah yang
selalu mengalir di bumi Palestina tersebut hanya bermotif politik semata.
Sebab berdirinya Israel tahun 1948 merupakan mimpi besar Yahudi sejak masa
Musa, Dawud, Sulaiman, bahkan zaman Nabi Muhammad saw. Yahudi sangat
membutuhkan "Kerajaan Bani Israil" untuk mengalahkan ras selain mereka.
Dan ketika Yahudi menakulkkan al-Quds pada tahun 1967, pasukan Israel
berkumpul di tembok ratapan. Mereka berteriak dengan menyatakan ”hari ini
kita berhasil membalas dendam perang Khaibar” kemudian mereka menerikakan
”tumpangkan buah misy-misy di atas buah Apel, agama Muhammad telah lari
dan pergi”. Selain itu juga, Rundolf Churchil menyatakan bahwa lepasnya
al-Quds dari penguasaan Islam merupakan impian bersama umat Kristiani dan
Yahudi. Parlemen Israel telah mengeluarkan keputusan mengenai al-Quds,
yaitu sebagai kota milik bangsa Yahudi dan sekali-kali tidak boleh kembali
ke tangan umat Islam.
Lebih jauh dari itu, konflik di Timur Tengah yang disebabkan oleh Isreal
merupakan skenario Yahudi dalam menerjemahkan doktrin Talmud yang sangat
mereka yakini, bahwa negara Isreal Raya berdiri dalam batasan sungai Nil
di Mesir sampai sungai Furat di Iraq. Profesor Jamal Abd al-Hadi dan Wafa
Muhammed Rif’at dalam bukunya al-Tariq Ila Bayt al-Maqdis mengungkapkan
beberapa doktrin Talmud yang dijadikan Yahudi sebagai acuan dalam
menjustifikasikan ambisi bejat mereka, diantaranya adalah, pertama, asal
manusia selain Yahudi sama dengan asal hewan. Kedua, arwah orang Yahudi
sangat mulia di sisi Tuhan, sementara arwah manusia selain mereka adalah
arwah setan yang menyerupai ruh hewan. Ketiga, membunuh selain Yahudi
merupakan kebajikan yang akan dibalas oleh Tuhan. Jika tidak mampu
membunuh selain Yahudi secara langsung, maka wajib bagi Yahudi membuat
segala cara untuk kehancuran selain mereka. Keempat, kehidupan orang
selain Yahudi adalah milik Yahudi, begitu juga dengan harta mereka.
Kelima, perbedaan manusia dengan hewan sama seperti Yahudi dengan manusia
selain mereka.
Ada banyak teks Talmud yang diimani oleh Zionis Israel untuk menghancurkan
manusia selain mereka. Dengan demikian, ambisi Zionis tidak akan pernah
padam sebelum cita mereka terbukti nyata. Bagi kaum Zionis Isreal, segala
cara menjadi halal demi kepentingan dan keculasan mereka. Sifat kaum
Zionis Yahudi itu mewarisi sifat besar, yaitu sifat durhaka diturunkan
dari sifat saudara-saudara Yusuf (seayah berbeda ibu). Disana sudah
terpupuk bakat-bakat kelicikan, dengki, kebohongan, dan sebagainya. Walau
sifat-sifat itu sebatas potensi, bukan kemutlakan takdir.
Jadi, kebiadaban Zionis Israel saat ini di Gaza hanyalah sebagian dari
konsekuensi dari dendam sejarah. Awalnya, Bani Israil (Yahudi) hanyalah
sebuah kaum yang selalu mendapat bimbingan seorang Nabi. Namun dinamika
sejarah Yahudi yang sangat panjang melahirkan watak biadab dan tidak
berprikemanusiaan. Semua karakter buruk Yahudi tersebut seolah telah
menjadi skenario Tuhan untuk menjadi cobaan di akhir zaman.
Mungkin, kelakuan Zionis Yahudi yang terhadap rakyat Palestina merupakan rahasia
yang mulai terkuak untuk membuka mata dunia. Karena Israel selalu picik
dalam mempengaruhi opini manusia. Atau mingkin, kebiadaban Zionis Israel
sekarang ini menjadi potret dari lensa kiamat, sebagaimana isyarat baginda
Nabi dalam sabdanya, bahwa nanti di akhir zaman, ketika kiamat sudha
mendekat, akan terjadi perang antara muslim dan Yahudi. Jika benar
demikian, maka kebiadaban Zionis Israel di Gaza sekarang ini bukanlah
perilaku akhir mereka. Semua itu hanya replay sejarah dan postponed
scenario sebelum go with new aggression.
*Dosen Fakultas Syariah IAIN STS Jambi. Mahasiswa Program Doktor
University Kebangsaan Malaysia......-Generasi Perang Pikirin-....
Jumat, 16 Januari 2009
Oleh : Ario Djatmiko, pengajar di Fakultas Kedokteran Unair
Awal dari semua kejahatan di muka bumi ini adalah dusta. Begitu
kata Saidun, guru ngaji saya di kampung. Mengapa? Dalam berdusta, kita
sendirilah yang tahu, kita itu sedang berbohong atau tidak.
Siapa pun yang tega menipu diri sendiri pasti lebih tega
melakukannya pada orang lain. Saidun mengingatkan, munafik adalah
serendah-rendah nilai manusia di mata Tuhan. Munafik berarti tidak
satunya kata dan perbuatan. Cirinya, obral janji. Lantas, bagaimana
kita tahu munafik atau tidak?
Pemilu adalah peristiwa mahapenting dalam sejarah bangsa ini.
Proses memilih presiden yang membawa bangsa ini ke depan. Dalam proses
sepenting itu, di mana pers berada? Pers hadir sekadar menjual space
kosong untuk bebas diisi capres. Atau, ada tanggung jawab lain yang
lebih bermakna untuk bangsanya?
Pilar ke-4 yang menjaga demokrasi adalah pers. Untuk itu, kebebasan
pers harus dipertahankan. Ibarat pisau, pers bebas diarahkan ke mana
saja. Pertanyaannya, nurani atau sponsorkah yang bicara?
Ada Yang Harus Dijaga
Obama terpilih, kita menyaksikan indahnya dan terhormatnya
demokrasi. Bukan sekadar kisah menangnya kulit hitam atas kulit putih
atau muda versus tua. Lebih dari itu, menangnya nurani dan akal sehat.
Di sini terlihat peran pers amat jelas. Pers membawa perbedaan
fundamental tiap kandidat presiden ke ruang publik. Pertama, rakyat
Amerika akhirnya sadar untuk memilih jalan kapitalis yang sosialistik
ketimbang kapitalis bebas ala Reagan. Tentu dengan segala konkuensinya.
Kedua, rakyat memilih multilateralisme ketimbang unilateralisme.
Artinya, mereka menerima bahwa Amerika hanya merupakan salah satu
kekuatan penyeimbang dunia. Bukan lagi menjadi pengatur (baca: polisi)
dunia.
Ketiga, soft power lebih diterima ketimbang hard power. Air mata
bercucuran saat Obama berbicara I will listen to you, especially when
we disagree. Untuk orang-orang yang tidak memilih dia, Obama santun
berkata sungguh-sungguh bekerja untuk mereka. Dan, kemenangan Obama pun
menjadi kemenangan rakyat Amerika.
Lebih mengharukan, pidato politik McCain. Dia berjanji mengawal
kepresidenan Obama mencapai cita-cita Amerika. Kita melihat keagungan
di sini. Value yang mencerminkan keluhuran budi, sportivitas, dan
patriotisme tinggi. Mereka sadar, ada hal yang harus mereka jaga demi
masa depan bangsanya, yaitu kebersamaan! Tanpa kebersamaan, Amerika
akan hancur, apalagi dalam situasi ekonomi sulit ini.
Lantas, bagaimana mereka bisa mencapai itu semua? Jawabannya,
kematangan berbangsa dan kerja maksimal pers dalam melakukan
investigasi dan edukasi.
Benarkah para capres kita sadar betul akan pentingnya menjaga
kebersamaan? Benarkah maraknya iklan politik akan identik dengan
lahirnya pemimpin-pemimpin unggul yang bernurani, sportif, dan
patriotis? Apakah kita akan melihat keindahan dan terhormatnya
demokrasi saat pemilu hadir di negeri ini?
Kata-Kata Membunuh
Pada awal putaran kampanye tampak tanda-tanda mencemaskan. Tudingan
Rizal Ramli, dalam paparannya di TV, SBY melakukan rekayasa statistika.
Itu tuduhan berat, kebohongan publik! Pertanyaannya, apakah tudingan
tersebut merupakan rekam jejak atau hanya black campaign? Sebab,
ternyata Ramli pun mencalonkan presiden. Artinya, tudingan itu maybe
yes maybe no dan rakyat bingung.
Di sinilah pers seharusnya hadir membuka tabir? Komentar Amien Rais
tentang SBY-Kalla takut menghadapi asing. Menyetujui UU Migas adalah
ketololan yang menyundul plafond. Mungkin benar, tapi tidak adakah
kalimat yang lebih soft?
Saat McCain menyebut country first, ratingnya naik melebihi Obama.
Tudingan ''that one'' (baca: orang di luar kita) untuk Obama membuat
rating McCain melorot dan tidak pernah naik lagi.
Pelajarannya, black campaign bisa menjadi bumerang. Saat Sarah
Palin terkena masalah, Obama tegas mengatakan akan memecat tim
suksesnya yang melakukan black campaign. Terasa benar hadirnya
kesantunan politik di sini.
Masih ingat saat ulang tahun PDIP di Palembang? Mega mengkritik
langkah pemerintahan SBY-Kalla seperti poco-poco. Dengan nada menghina,
Anas Urbaningrum menasihati Mega untuk lebih sering becermin dan
membaca. Seandainya Anas itu tim sukses Obama, pasti sudah dipecat.
Tapi, negeri ini aneh, posisi Anas di partai justru makin penting
saja. Atau ada skenario lain, lempar batu sembunyi tangan? Kisah
seperti itulah yang muncul di ruang publik. Orang pintar tahu apa yang
dikatakan. Tapi, orang bijak tahu apa dampak dari ucapannya.
Nah, seharusnya para elite tahu cara mengolah delivery agar
substansinya bisa lebih diterima. Dan, bagaimana mungkin kita dapat
membangun kebersamaan kalau para elite terus mengumbar kata-kata
membunuh?
Pers Perjuangan
Jim Collins dalam bukunya Good to Great mengingatkan, ''First who
and then what''. Kalau diibaratkan membeli kucing dalam karung, iklan
politik adalah karungnya. Sekadar bungkus tempat menjual diri semata.
Seindah apa pun karung dihias, who-nya (baca: kucingnya) tetap tak
terungkap. Tidak ada gunanya kita berbicara ''what'' kalau tidak tahu
betul who-nya.
Lantas, di mana peran pers? Pers mempunyai dua wilayah, wilayah
iklan dan wilayah pemberitaan. Iklan adalah wilayah yang bisa dibeli
dan si pembeli dapat menulis apa pun sesuai tujuannya. Jelas tidak
mungkin kita mengungkap ''who'' dari wilayah iklan.
Di sini media harus memilih. Main aman dengan iklan politik dan
sibuk menghitung laba walau sadar ikut menyesatkan. Atau, tegak sebagai
intellectual gate keeper menjaga bangsanya. Tampil tegar menghadapi
risiko di wilayah pemberitaan. Membawa analisis tajam rekam jejak
capres ke ruang publik, membuka mata hati rakyat.
Beruntung saya pernah bertemu mediang Mochtar Lubis. Pers tidak
hanya urusan teknik pemberitaan semata. Makna publik adalah tujuan
utama pers. Landasan moral, etika, keberpihakan pada -kebenaran dan
kepentingan masyarakat- adalah nyawa pers.
Mochtar mengingatkan, pers Indonesia lahir karena perjuangan dan
sampai akhir tetap menjadi alat perjuangan. Jelas, perjuangan menuntut
sacrifice, bukan sekadar usaha mengejar laba.
Lantas, ke mana pisau pers akan diarahkan? Tegakah kita membiarkan
rakyat tak berdaya tersesat, memilih karung indah berisi serigala?
Langganan:
Postingan (Atom)