Sabtu, 27 Desember 2008

TRISULA KEPEMIMPINAN

Laporan
utama Time pada 9 Juli ditulis Richard Stengel, penulis biografi Nelson
Mandela, Long Road to Freedom. Ulasan Stengel dalam rangka ulang tahun
Rolihlahla ke-90, 19 Juli 2008.

Seperti biasa, di sampul Time Mandela berpose dengan kemeja
batik—ia promotor batik global tanpa honor. Untung dia bukan orang
Malaysia.

Pak Harto, atas nama RI, rutin membantu dana perjuangan Mandela dan
partainya, ANC. Ini contoh praktik politik luar negeri jempolan!

Bulu kuduk bergidik membaca ulasan Stengel tentang Delapan Prinsip
Kepemimpinan Mandela. Intinya, memimpin bukan berwacana karena ”talk is
cheap”.

Rolihlahla (anak bandel) tak pandai berpidato, lebih suka memberi
suri teladan, dan tak bangga dengan jam terbang dibui 27 tahun. Ia
pengacara berbakat, gerilyawan pemberani, negarawan sejati, dan—di atas
segala-galanya—politikus ulung.

Stengel menempatkan watak pemberani dan tak kenal ragu sebagai
prinsip pertama. Pelajaran bagi kita, bangsa yang sedang serba susah
ini tak boleh lagi dipimpin an indecisive coward mulai tahun 2009.

Prinsip kedua, memimpin dari depan tanpa meninggalkan pendukung.
Stengel mengibaratkan Mandela bukan tipe ”pengunyah permen karet” yang
dengan cepat melepeh sehabis menikmati rasa manis alias jangan habis
manis sepah dibuang.

Prinsip ketiga, pemimpin menggembala dari belakang. Ya, mirip
dengan lagu Norma Sanger, ”Si Penggembala Sapi”, yang dari pagi sampai
petang kerja keras sampai menutup pintu kandang.

Kelas ”penggembala sapi” ada pada diri Bung Karno dan Pak Harto.
Presiden-presiden setelah itu kewalahan menggembala sapi (eh maaf,
maksudnya bangsa) karena mewabahnya sapi gila, flu burung, dan kaki
gajah.

Sebuah fitur prinsip ketiga ini membujuk orang berbuat sampai yakin
perbuatan itu gagasan dia. Jangan kayak kasus blue energy yang membuat
si pencipta malah bolak-balik sakit.

Prinsip keempat, pelajarilah musuh Anda. Kalau pesawat
maskapai-maskapai kita dilarang terbang ke Eropa, jangan ngambek enggak
berkunjung ke sana.

Larangan itu diberlakukan karena maskapai-maskapai kita
menyepelekan keselamatan. Pelajari cara mereka menerapkan keamanan
penerbangan, baru setelah itu main gertak yang bukan lagi pakai sambal.

Prinsip kelima mirip yang keempat, yakni jangan usir musuh-musuh
Anda. Jika perlu, undang mereka, puji perbuatan mereka, dan setelah
tersanjung ambil keuntungan dari mereka.

Prinsip ini penting sehubungan dengan keluhan investor asing yang
makin malas tanam modal di sini. Mana yang lebih baik: marah atau
sebaliknya, berunding baik-baik?

Peranan MNC (multinational corporation) mustahil diabaikan. Ancaman
nasionalisasi tak produktif dibandingkan ajakan berunding dalam posisi
setara—seperti yang dilakukan Presiden Bolivia Evo Morales.

Prinsip keenam, pemimpin harus tampil menarik dan selalu ingat
kapan harus tersenyum. Namun, hati-hati kalau senyum melulu bisa
dianggap kurang waras.

Senyum, body language, serta ucapan mesti sewajar mungkin. Mata
rakyat kecil amat nyambung dengan hati sehingga mereka bisa membedakan
pemimpin munafik dengan yang apa adanya.

Mandela tak mau memakai seragam gerilyawan seperti pada masa
perjuangan atau jas lengkap beberapa tahun terakhir. Ia memilih tampil
sebagai ”Bapak Bangsa” dengan kemeja batik.

Beda dengan pejabat di sini yang pakai batik karena terpaksa
berhubung dikritik memboroskan listrik pada saat harga bahan bajar
minyak naik melulu. Lihat saja, beberapa bulan lagi mereka ogah pakai
batik lagi.

Prinsip ketujuh, dalam politik tak ada hitam atau putih karena
semuanya abu-abu. Dalam konteks Indonesia tak ada warna politik lain
kecuali merah dan putih—warna Bhinneka Tunggal Ika.

Prinsip kedelapan, mengundurkan diri juga bagian dari kepemimpinan.
Kalau di sini mundur artinya pandir karena kehilangan peluang mejeng
sekaligus korupsi kekuasaan.

Delapan Prinsip Kepemimpinan Mandela bukan ilmu gaib yang hanya
dapat dipelajari dari dukun, pusaka, atau arwah. Ilmu ini sering
diseminarkan, dibukukan, bahkan diterapkan di mana pun.

Tetapi, berhubung bersumber dari kepemimpinan seorang Mandela, ia jadi tidak biasa. Ia pemimpin yang larger than life.

Ia membangun karisma, partai, dan tujuan sejak muda. Secara
perlahan-lahan ia terbentuk sebagai pemimpin yang memiliki kredibilitas
karena berjuang penuh pengabdian, tanpa pamrih, dan rela berkorban.

Berbeda, misalnya, dengan Presiden Amerika Serikat George W Bush
yang sesumbar akan menyebarkan demokrasi di Timur Tengah. Wong dia
sendiri di negerinya enggak demokratis kok.

Nah, ”riwayat Mandela” sebenarnya dilakoni pula oleh para pendiri
republik ini. Mereka mungkin tidak sekelas Mandela, tetapi telah
membuktikan pengabdian beyond the call of duty.

Sering muncul pertanyaan dari para pembaca, mengapa pemimpin masa
kini tidak seandal pada masa perjuangan dulu? Simsalabim, saya punya
teori Trisula Kepemimpinan.

Prinsip pertama, pemberani karena nekat. Contohnya, pemimpin muda
yang minta yang tua menyingkir meski enggak berani mencalonkan diri
jadi presiden.

Prinsip kedua, tak berkelas gembala karena lebih doyan digembalakan
saja. Ada 34 partai peserta Pemilu 2009, tetapi yang berani mencalonkan
presiden baru segelintir.

Prinsip ketiga, saling bermusuhan kayak anak kecil. Kalau enggak percaya, tanya Pak Jusuf Kalla.

1 Agustus 2008

BLACK CAMPAIGN VS REKAM JEJAK

Oleh : Ario Djatmiko, pengajar di Fakultas Kedokteran Unair

Awal dari semua kejahatan di muka bumi ini adalah dusta. Begitu
kata Saidun, guru ngaji saya di kampung. Mengapa? Dalam berdusta, kita
sendirilah yang tahu, kita itu sedang berbohong atau tidak.

Siapa pun yang tega menipu diri sendiri pasti lebih tega
melakukannya pada orang lain. Saidun mengingatkan, munafik adalah
serendah-rendah nilai manusia di mata Tuhan. Munafik berarti tidak
satunya kata dan perbuatan. Cirinya, obral janji. Lantas, bagaimana
kita tahu munafik atau tidak?

Pemilu adalah peristiwa mahapenting dalam sejarah bangsa ini.
Proses memilih presiden yang membawa bangsa ini ke depan. Dalam proses
sepenting itu, di mana pers berada? Pers hadir sekadar menjual space
kosong untuk bebas diisi capres. Atau, ada tanggung jawab lain yang
lebih bermakna untuk bangsanya?

Pilar ke-4 yang menjaga demokrasi adalah pers. Untuk itu, kebebasan
pers harus dipertahankan. Ibarat pisau, pers bebas diarahkan ke mana
saja. Pertanyaannya, nurani atau sponsorkah yang bicara?

Ada Yang Harus Dijaga

Obama terpilih, kita menyaksikan indahnya dan terhormatnya
demokrasi. Bukan sekadar kisah menangnya kulit hitam atas kulit putih
atau muda versus tua. Lebih dari itu, menangnya nurani dan akal sehat.
Di sini terlihat peran pers amat jelas. Pers membawa perbedaan
fundamental tiap kandidat presiden ke ruang publik. Pertama, rakyat
Amerika akhirnya sadar untuk memilih jalan kapitalis yang sosialistik
ketimbang kapitalis bebas ala Reagan. Tentu dengan segala konkuensinya.

Kedua, rakyat memilih multilateralisme ketimbang unilateralisme.
Artinya, mereka menerima bahwa Amerika hanya merupakan salah satu
kekuatan penyeimbang dunia. Bukan lagi menjadi pengatur (baca: polisi)
dunia.

Ketiga, soft power lebih diterima ketimbang hard power. Air mata
bercucuran saat Obama berbicara I will listen to you, especially when
we disagree. Untuk orang-orang yang tidak memilih dia, Obama santun
berkata sungguh-sungguh bekerja untuk mereka. Dan, kemenangan Obama pun
menjadi kemenangan rakyat Amerika.

Lebih mengharukan, pidato politik McCain. Dia berjanji mengawal
kepresidenan Obama mencapai cita-cita Amerika. Kita melihat keagungan
di sini. Value yang mencerminkan keluhuran budi, sportivitas, dan
patriotisme tinggi. Mereka sadar, ada hal yang harus mereka jaga demi
masa depan bangsanya, yaitu kebersamaan! Tanpa kebersamaan, Amerika
akan hancur, apalagi dalam situasi ekonomi sulit ini.

Lantas, bagaimana mereka bisa mencapai itu semua? Jawabannya,
kematangan berbangsa dan kerja maksimal pers dalam melakukan
investigasi dan edukasi.

Benarkah para capres kita sadar betul akan pentingnya menjaga
kebersamaan? Benarkah maraknya iklan politik akan identik dengan
lahirnya pemimpin-pemimpin unggul yang bernurani, sportif, dan
patriotis? Apakah kita akan melihat keindahan dan terhormatnya
demokrasi saat pemilu hadir di negeri ini?

Kata-Kata Membunuh

Pada awal putaran kampanye tampak tanda-tanda mencemaskan. Tudingan
Rizal Ramli, dalam paparannya di TV, SBY melakukan rekayasa statistika.
Itu tuduhan berat, kebohongan publik! Pertanyaannya, apakah tudingan
tersebut merupakan rekam jejak atau hanya black campaign? Sebab,
ternyata Ramli pun mencalonkan presiden. Artinya, tudingan itu maybe
yes maybe no dan rakyat bingung.

Di sinilah pers seharusnya hadir membuka tabir? Komentar Amien Rais
tentang SBY-Kalla takut menghadapi asing. Menyetujui UU Migas adalah
ketololan yang menyundul plafond. Mungkin benar, tapi tidak adakah
kalimat yang lebih soft?

Saat McCain menyebut country first, ratingnya naik melebihi Obama.
Tudingan ''that one'' (baca: orang di luar kita) untuk Obama membuat
rating McCain melorot dan tidak pernah naik lagi.

Pelajarannya, black campaign bisa menjadi bumerang. Saat Sarah
Palin terkena masalah, Obama tegas mengatakan akan memecat tim
suksesnya yang melakukan black campaign. Terasa benar hadirnya
kesantunan politik di sini.

Masih ingat saat ulang tahun PDIP di Palembang? Mega mengkritik
langkah pemerintahan SBY-Kalla seperti poco-poco. Dengan nada menghina,
Anas Urbaningrum menasihati Mega untuk lebih sering becermin dan
membaca. Seandainya Anas itu tim sukses Obama, pasti sudah dipecat.

Tapi, negeri ini aneh, posisi Anas di partai justru makin penting
saja. Atau ada skenario lain, lempar batu sembunyi tangan? Kisah
seperti itulah yang muncul di ruang publik. Orang pintar tahu apa yang
dikatakan. Tapi, orang bijak tahu apa dampak dari ucapannya.

Nah, seharusnya para elite tahu cara mengolah delivery agar
substansinya bisa lebih diterima. Dan, bagaimana mungkin kita dapat
membangun kebersamaan kalau para elite terus mengumbar kata-kata
membunuh?

Pers Perjuangan

Jim Collins dalam bukunya Good to Great mengingatkan, ''First who
and then what''. Kalau diibaratkan membeli kucing dalam karung, iklan
politik adalah karungnya. Sekadar bungkus tempat menjual diri semata.
Seindah apa pun karung dihias, who-nya (baca: kucingnya) tetap tak
terungkap. Tidak ada gunanya kita berbicara ''what'' kalau tidak tahu
betul who-nya.

Lantas, di mana peran pers? Pers mempunyai dua wilayah, wilayah
iklan dan wilayah pemberitaan. Iklan adalah wilayah yang bisa dibeli
dan si pembeli dapat menulis apa pun sesuai tujuannya. Jelas tidak
mungkin kita mengungkap ''who'' dari wilayah iklan.

Di sini media harus memilih. Main aman dengan iklan politik dan
sibuk menghitung laba walau sadar ikut menyesatkan. Atau, tegak sebagai
intellectual gate keeper menjaga bangsanya. Tampil tegar menghadapi
risiko di wilayah pemberitaan. Membawa analisis tajam rekam jejak
capres ke ruang publik, membuka mata hati rakyat.

Beruntung saya pernah bertemu mediang Mochtar Lubis. Pers tidak
hanya urusan teknik pemberitaan semata. Makna publik adalah tujuan
utama pers. Landasan moral, etika, keberpihakan pada -kebenaran dan
kepentingan masyarakat- adalah nyawa pers.

Mochtar mengingatkan, pers Indonesia lahir karena perjuangan dan
sampai akhir tetap menjadi alat perjuangan. Jelas, perjuangan menuntut
sacrifice, bukan sekadar usaha mengejar laba.

Lantas, ke mana pisau pers akan diarahkan? Tegakah kita membiarkan
rakyat tak berdaya tersesat, memilih karung indah berisi serigala?

AAKHIR TAHUN 2008

Apa-apa yang dahulu adalah sebuah rencana akan datang sudah menjadi hari ini, saat ini.

Yang harus diingat lagi kita telah merajut rangkaian sebab di suatu
waktu yang kini kita menyebutnya masa lampau, masa lalu. Rangkaian
sebab itu sedang berinkubasi bahkan sudah ada yang menetas menjadi
sebuah akibat.

Sangat Fair ! rajutan sebab yang dirangkai adalah negatifitas maka
akibat yang menetas menjadi milik kita adalah negatifitas pula. Jika
suatu yang positif kita rangkai maka akibat yang akan menjadi milik
kita adalah positif.

Begitulah semua itu terjadi apa adanya, bukan untuk disorak sorai,
bukan untu kita soraki, atau kita ratapi, bukan untuk tertawa atau
menangis. Bukan untuk ditertawai atau ditangisi.

Sayangnya kita begitu bergiat bersemangat merajut dan menanam sebab,
tetapi menangis dan meratapi buah akibatnya sambil menyalahkan Tuhan
atau Orang lain !