Jumat, 22 Mei 2009

Ilusi Sebuah Negara Islam

oleh : KH. Abdurrahman Wahid

Setelah menyadari banyak masjid dan jamaahnya diserobot oleh kelompok- kelompok

garis keras, NU mulai melakukan konsolidasi dengan menata kembali
organisasinya, antara lain, di masjid-masjid. PBNU menyatakan dengan
tegas bahwa gerakan Islam transnasional seperti al-Qaidah, Ikhwanul
Muslimin (yang di sini direpresentasikan oleh PKS—red.), dan Hizbut
Tahrir adalah gerakan politik yang berbahaya karena
mengancam paham
Ahlussunnah wal Jamâ‘ah, dan berpotensi memecah-belah bangsa.(18)
Kemampuan mereka berpura-pura bisa menerima paham dan tradisi NU juga
membuat mereka sangat berbahaya karena bisa menyusup kapan saja dan ke
mana saja.

Sementara terkait dengan isu khilafah yang diperjuangkan HTI, Majlis
Bahtsul Masa’il memutuskan bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki
rujukan teologis, baik di dalam al-Qur’an maupun hadits.(19)

Walaupun di beberapa tempat NU telah berhasil mengusir kelompok garis
keras, namun di banyak tempat upaya penyusupan dan penyerobotan masjid
dan jamaah NU terus dilakukan. Secara umum, sebagaimana ditunjukkan
penelitian ini, penyusupan garis keras jauh lebih gencar daripada upaya
NU untuk mengusirnya. Jika ini terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin
bahwa NU akan kehilangan presentase signifikan jumlah jamaah dan
masjidmasjidnya, dan berubah menjadi kurang spiritul dan
lebih keras.

Penyusupan garis keras di lingkungan NU, dan kegagalan ormas terbesar
dunia ini menghentikan infiltrasinya ke pemerintahan, MUI dan
bidang-bidang strategis lain secara umum di negara ini, salah satu
sebabnya terjadi karena fenomena “kyai materi” yang tersebar luas.
“Kyai-kyai materi” lebih mengutamakan kepentingan pribadinya daripada
kepentingan jamaah dan jam‘iyah NU serta negara. Puluhan juta jamaah NU
yang terkonsentrasi di desa-desa dan daerah-daerah tertentu, adalah
kelompok pemilih terbesar (the largest single group of voters) di
Indonesia. Suara mereka bisa menentukan siapa yang akan terpilih untuk
naik ke kursi DPRD, DPR, Bupati, Gubernur dan Presiden. Realitas ini
mendorong banyak parpol tergoda untuk memanipulasi NU dan memanfaatkan
hubungan dengan kyai-kyai materi demi ke pentingan politik mereka.
Karena sifat dasar manusia, ada kyai-kyai yang merindukan amplop
atau
kedudukan politik kemudian maju untuk menjadi pengurus NU di tingkat
cabang, wilayah, atau pusat, sebagai jembatan untuk memanfaatkan dan
dimanfaatkan oleh parpol-parpol dan politisi tertentu.

Pada saat yang sama, banyak kyai-kyai spiritual yang mundur dari arena
penuh pamrih dan kepentingan pribadi tersebut dan hanya berbagi ilmu
dengan orang-orang yang datang tanpa pamrih untuk mendekati Tuhan,
bukan kedudukan. Dengan jumlah anggota sekitar empat puluh juta, NU
—bersama Muhammadiyah— betul-betul bisa menjadi soko guru yang mampu
untuk tetap menyangga bangunan negara dan bangsa Indonesia. Tetapi,
untuk bisa memenuhi amanah tersebut, NU harus melakukan revitalisasi
spiritual dan kembali ke nilai-nilai utamanya. Dengan cara demikian,
para ulama bisa membimbing yang berkuasa dan tidak membiarkan dirinya
diperalat oleh mereka.

Nenek moyang kita meyakini hal ini sebagai dharma manusia, dan
karena
alasan itulah wayang kulit selalu menggambarkan raja-raja bersikap
hormat dan tunduk kepada para resi, dan bukan sebaliknya.

Dewasa ini, kultur wayang yang khas Indonesia dan penuh nilai- nilai
luhur sudah mulai tersisih oleh kultur asing. Adopsi kultur asing
secara tidak cerdas akan membuat bangsa Indonesia kehilangan
jatidirinya sebagai bangsa. Hal ini bisa dilihat —antara lain— dalam
kasus yang terjadi di Cairo pada awal tahun 2004. Saat itu salah
seorang Ketua PBNU diundang menyampaikan paper dalam forum Pendidikan
dan Bahtsul Masa’il Islam Emansipatoris bersama Prof. Dr. Hassan Hanafi
dan Dr. Youhanna Qaltah. Sehari sebelum paper disampaikan, Presiden
Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir dan
teman-temannya masuk ke hotel Sonesta tempat acara akan dilaksanakan
dan mengancam Ketua PBNU dimaksud menyajikan papernya. Mereka
mengancam, jika larangannya tidak diindahkan, apa
pun akan dilakukan
untuk menghentikan, termasuk pembunuhan. “Kalau Bapak masih bersikeras,
saya sendiri yang akan membunuh Bapak,” ancam Limra Zainuddin, Presiden
PPMI.(20)

Setelah diselidiki, konon para mahasiswa tadi adalah para aktivis PK
(PKS) di Cairo.(21)Sebagai Muslim, mahasiswa itu seharusnya bersikap
tawâdlu‘ (rendah hati), menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang
lebih muda (laisa minnâ man lam yukrim kibâranâ wa lam yarham
shighâranâ). Namun semua ini tidak terjadi karena tidak adanya
pemahaman dan internalisasi ajaran Islam yang penuh spiritualitas, dan
mereka telah mengadopsi kultur asing secara tidak cerdas. Dua hal ini
bisa membuat siapa pun mudah terjebak ke dalam pemahaman- pemahaman
yang sempit dan kaku. Siapa pun yang tidak mempunyai pemahaman yang
mendalam tentang Islam, khususnya tentang hakikat dan ma‘rifat, akan
melihat bahwa apa yang disampaikan kelompok- kelompok
garis keras sama
belaka seperti yang dipahami oleh kebanyakan umat Islam. Mereka
menggunakan bahasa yang sama dengan umat Islam pada umumnya, seperti
dakwah, amar ma’rûf nahy munkar atau Islam rahmatan lil-‘âlamîn, tapi
sebenarnya mereka memahaminya secara berbeda.(22)

Di tangan mereka, amar ma‘rûf nahy munkar telah dijadikan legitimasi
untuk melakukan pemaksaan, kekerasan, dan penyerangan terhadap siapa
pun yang berbeda. Mereka berdalih memperjuangkan al-ma‘rûf dan menolak
al-munkar setiap kali melakukan aksi-aksi kekerasan atau pun
mendiskreditkan orang atau pihak lain.

Sementara konsep rahmatan lil-‘âlamîn digunakan sebagai dalih
formalisasi Islam, memaksa pihak lain menyetujui tafsir mereka, dan
menuduh siapa pun yang berbeda atau bahkan menolak tafsir mereka
sebagai menolak konsep rahmatan lil-‘âlamîn, sebelum akhirnya dicap
murtad dan kafir. Padahal, sebenarnya semangat dasar
dakwah adalah
memberi informasi dan mengajak, dan Islam menjamin kebebasan dalam
beragama (lâ ikrâh fi al-dîn [QS. al-Baqarah, 2: 256]).(23) Di sini
kita melihat kontradiksi mendasar antara aktivitas kelompok- kelompok
garis keras dengan ajaran Islam yang penuh kasih sayang, toleran, dan
terbuka.

Penggunaan bahasa yang sama ini membuat mereka menjadi sangat
berbahaya, karena dengan bahasa yang sama mereka mudah mengecoh banyak
umat Islam dan mudah pula menyusup ke mana-mana dan kapan saja. Dengan
strategi demikian, ditambah militansi yang tinggi dan dukungan dana
yang kuat dari luar dan dalam negeri, kelompok-kelompok garis keras ini
telah menyusup dan berusaha mempengaruhi mayoritas umat Islam untuk
mengikuti paham mereka. Umat Islam dan pemerintah selama ini telah
terkecoh dan/atau membiarkan aktivitas kelompok- kelompok garis keras
sehingga mereka semakin besar dan kuat dan semakin mudah
memaksakan
agenda-agendanya, bukan saja kepada ormasormas Islam besar tetapi juga
kepada pemerintah, partai politik, media massa, dunia bisnis, dan
lembaga-lembaga pendidikan.

Sikap militan dan klaim-klaim kebenaran yang dilakukan kelompok-
kelompok garis keras memang tak jarang membuat mayoritas umat Islam,
termasuk politisi oportunis, bingung berhadapan dengan mereka, karena
penolakan kemudian akan dicap sebagai penentangan terhadap syariat
Islam, padahal tidak demikian yang sebenarnya. Maka tidak heran jika
banyak otoritas pemerintah dan partai- partai politik oportunis mau
saja mengikuti dikte kelompok garis keras, misalnya dengan membuat
Peraturan Daerah (Perda) Syariat yang inkonstitusional. Padahal, itu
adalah “Perda fiqh” yang tidak lagi sepenuhnya membawa pesan dan ajaran
syari‘ah, dan muatannya bersifat intoleran dan melanggar hak-hak sipil
serta hak-hak minoritas karena diturunkan dari
pemahaman fiqh yang
sempit dan terikat, di samping juga tidak merefleksikan esensi ajaran
agama yang penuh spiritualitas, toleransi, dan kasih sayang kepada
sesama manusia.

Ringkasnya, para politisi oportunis yang bekerjasama dengan partai atau
kelompok-klompok garis keras sangat berbahaya juga. Mereka ikut
menjerumuskan negara kita ke arah jurang perpecahan dan kehancuran.
Mereka tidak memperhatikan, dan bahkan mengorbankan, masa depan bangsa
yang multi-agama dan multi-etnik. Sepertinya mereka hanya mementingkan
ambisi pribadi demi melanggengkan kekuasaan dan meraih kekayaan.

Gerakan garis keras terdiri dari kelompok-kelompok yang saling
mendukung dalam mencapai agenda bersama mereka, baik di luar maupun di
dalam institusi pemerintahan negara kita. Ancaman yang sangat jelas
adalah usaha mengidentifikasi Islam dengan ideologi Wahabi/Ikhwanul
Muslimin serta usaha untuk melenyapkan budaya dan tradisi
bangsa kita
dan menggantinya dengan budaya dan tradisi asing yang bernuansa Wahabi
tapi diklaim sebagai budaya dan tradisi Islam. Bagian manapun dari
kedua bahaya tersebut, atau keduanya, hanya akan menempatkan bangsa
Indonesia di bawah ketiak jaringan ideologi global Wahabi/Ikhwanul
Muslimin. Dan yang paling memprihatinkan, sudah ada infiltrasi ke dalam
institusi pemerintah yang sedang digunakan untuk mencapai tujuan ini.

Agen-agen garis keras juga melakukan infiltrasi ke Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Bahkan sudah dibilang, MUI kini telah menjadi bungker
dari organisasi dan gerakan fundamentalis dan subversif di Indonesia.
(24) Lembaga semi pemerintah yang didirikan oleh rezim Orde Baru untuk
mengontrol umat Islam itu, kini telah berada dalam genggaman garis
keras dan berbalik mendikte/mengontrol pemerintah.

Maka tidak heran jika fatwa-fatwa yang lahir dari MUI bersifat kontra
produktif dan memicu
kontroversi, semisal fatwa pengharaman
sekularisme, pluralisme, liberalisme dan vonis sesat terhadap kelompok-
kelompok tertentu di masyarakat yang telah menyebabkan aksi-aksi
kekerasan atas nama Islam.

Berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis
keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain yang
menghancurkan dan memberangus orang lain yang dinyatakan sesat oleh
MUI, dan dukungan pengurus MUI kepada mereka yang melakukan aksi-aksi
kekerasan terkait, mengkonfirmasi pernyataan bahwa MUI telah memainkan
peran kunci dalam gerakan-gerakan garis keras di Indonesia. Saat ini
ada anggota MUI dari Hizbut Tahrir Indonesia, padahal HTI jelas-jelas
mencita-citakan khilafah Islamiyah yang secara ideologis bertentangan
dengan Pancasila dan NKRI.

Rendahnya perhatian dan keprihatinan terhadap fenomena garis keras
tidak hanya mengenai ideologi, gerakan, dan infiltrasi mereka.
Arus
dana Wahabi yang tidak hanya membiayai terorisme tetapi juga penyebaran
ideologi dalam usaha wahabisasi global juga nyaris luput dari perhatian
publik.(25) Selama ini, arus dana Wahabi ke Indonesia tidak mendapat
perhatian publik secara serius, padahal dari sinilah fenomena
infiltrasi paham garis keras memperoleh dukungan dan dorongan yang luar
biasa kuat sehingga menjadi bisnis yang menguntungkan banyak agennya.

Ada orang-orang yang sadar bahwa petrodollar Wahabi yang sangat besar
jumlahnya masuk ke Indonesia, namun cukup sulit untuk membuktikannya di
lapangan karena pihak yang menerima sangat sensitif atas isu ini dan
menolak membicarakannya. Sepertinya, penolakan ini dilakukan karena
agen garis keras malu jika diketahui bahwa mereka telah menjual agama,
malu jika diketahui mengabdi pada tujuan Wahabi, dan memang untuk
menyembunyikan infiltrasi Wahabi/Ikhwanul Muslimin terhadap Islam
Indonesia. Pada
sisi yang lain, badan negara yang bertanggung jawab
mengawasi aliran keluar-masuk dana di Indonesia juga tidak mengumumkan
hal tersebut meskipun sebenarnya ada para pejabat dan pihak yang
bertanggung jawab atas keamanan negara mengaku sangat prihatin dengan
fenomena ini.

Sebagai misal, sudah merupakan rahasia umum di kalangan para ahli bahwa
melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang bertindak sebagai
wakilnya di Indonesia, Rabithath al-‘Alam al-Islami menyediakan dana
yang luar biasa besar untuk gerakan- gerakan radikal di Indonesia. (26)
Berbagai aktivitas dakwah kampus atau lazim disebut Lembaga Dakwah
Kampus (LDK), yang menggagas gerakan tarbiyah, yang kemudian melahirkan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menikmati dana Arab Saudi tersebut dan
sekaligus menyebarkan virus tarbiyah di Indonesia.

Di Kabupaten Magelang, peneliti kami mendapat informasi dari mantan
pengurus Muhammadiyah salah
satu kecamatan di Magelang bahwa PKS sedang
mencari masjid-masjid yang hendak direnovasi, atau daerah-daerah yang
membutuhkan masjid baru. Secara terbuka, aktivis PKS yang bertanggung
jawab atas proyek ini mengutarakan kepada mantan pengurus Muhammadiyah
dimaksud bahwa dana untuk semua itu diperoleh dari Arab Saudi. Jika
masjid hendak direnovasi atau dibangun, penduduk setempat hanya diminta
untuk mendukung PKS dalam setiap pemilihan. Kata dia, “Tahun 2008 ini
sudah ada 11 yang akan dibangun atau direnovasi dengan dana Saudi.”
Hampir semua jama‘ah masjid di Magelang yang diserobot oleh PKS melalui
strategi ini adalah warga Nahdliyin.(27) Jika di satu kabupaten saja
ada 11 masjid yang dikerjakan, bayangkan berapa jumlah uang Wahabi yang
digunakan untuk membangun masjid-masjid di seluruh Indonesa dengan
motif politik seperti ini? Setelah calon PKS menang dalam Pilgub Jawa
Barat pada bulan Juli 2008, salah
seorang Ketua NU memberitahu peneliti
kami bahwa hal tersebut ditandai oleh keberhasilan PKS merebut banyak
masjid NU dan para jama‘ahnya. Walaupun Ketua NU dimaksud terkejut
dengan kejadian tersebut, sebenarnya keberhasilan PKS merebut masjid
dan jamaah NU tidak mengherankan. Tentu saja ideologi yang didukung
dana asing dengan jumlah yang luar biasa besar dan dipakai secara
sistematis bisa menyusup ke mana-mana dan mengalahkan oposisi yang
tidak terorganisasi. Atau dengan kata lain yang sering dipakai oleh
para ulama, al-haqq bi lâ nizhâmin qad yaghlib al-bâthil bi nizhâmin
(kebenaran yang tidak terorganisasi bisa dikalahkan kebatilan yang
terorganisasi) .

Para agen garis keras sering berteriak bahwa orang asing,
yayasan-yayasan, dan pemerintah dari Barat menggunakan uang mereka
untuk menghancurkan Islam di Indonesia, dan menuding ada konspirasi
Zionis/Nasrani di belakangnya. Pada kenyataannya,
pemerintah dan
yayasan-yayasan Barat seperti Ford Foundation dan the Asia Foundation
mempublikasikan program-program yang dilakukannya secara terbuka,
sehingga publik bisa mengetahui apa yang sebenarnya mereka lakukan dan
berapa biaya yang dikeluarkan untuknya.(28) Walaupun dana LibForAll
Foundation sangat sedikit dan kebanyakan pembina, penasehat, dan
pengurusnya orang Indonesia asli, ia juga melaporkan program-program
yang dilakukannya secara terbuka dan transparan.

Hal ini sangat berbeda dari gerakan asing Wahabi/Ikhwanul Muslimin dan
kaki tangannya di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan dengan jelas
bahwa, sementara para agen garis keras berteriak bahwa orang asing
datang ke Indonesia membawa uang yang banyak untuk menghancurkan
Islam... tentu itu benar, karena orang asing itu adalah aktivis gerakan
transnasional dari Timur Tengah yang menggunakan petrodollar dalam
jumlah yang fantastis untuk melakukan
Wahabisasi, merusak Islam

Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia
sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah
pun tidak ada.(29)

Dengan balutan jubah dan jenggot Arab yang ditampilkan, yang oleh
beberapa pihak telah dipandang lebih tampak seperti preman berjubah,
mereka ingin menunjukkan seolah-olah pandangan ekstrem yang mereka
teriakkan dan paksakan memang benar-benar merupakan pesan Islam yang
harus diperjuangkan. Padahal, mereka merusak agama Islam dan
bertanggung jawab atas banyak kekerasan yang mereka lakukan atas nama
Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Dan kita sebagai umat Islam harus
menanggung malu atas perbuatan mereka.

Karena itu, alasan utama melawan gerakan garis keras adalah untuk
mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam yang telah mereka nodai
dan sekaligus —pada saat yang sama— untuk menyelamatkan Pancasila
dan
NKRI. Jika mayoritas moderat melawan kelompok garis keras dengan tegas,
kita akan mengembalikan suasana beragama di Indonesia menjadi moderat,
dan kelompok garis keras dewasa ini akan gagal lagi seperti semua nenek
moyang ideologis mereka di tanah air kita, yang mewakili kehadiran
al-nafs al-lawwâmah. Kemenangan melawan mereka akan mengembalikan
keluhuran ajaran Islam sebagai rahmatan lil-‘âlamîn, dan ini merupakan
salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia. Studi ini kami
lakukan dan publikasikan untuk membangkitkan kesadaran seluruh komponen
bangsa, khususnya para elit dan media massa, tentang bahaya ideologi
dan paham garis keras yang dibawa ke tanah air oleh gerakan
transnasional Timur Tengah dan tumbuh seperti jamur di musim hujan
dalam era reformasi kita. Juga, sebagai seruan untuk melestarikan
Pancasila yang merefleksikan esensi syari‘ah dan menjadikan Islam
sebagai rahmatan
lil-‘âlamîn yang sejati.

Dalam Bab V, studi ini merekomendasikan langkah-langkah strategis untuk
melestarikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan menegakkan warisan luhur
tradisi, budaya dan spiritualitas bangsa Indonesia, antara lain dengan:

* mengajak dan mengilhami masyarakat dan para elit untuk bersikap
terbuka, rendah hati, dan terus belajar agar bisa memahami
spiritualitas dan esensi ajaran agama, dan menjadi jiwa-jiwa yang
tenang;

* menghentikan dan memutus —dengan cara-cara damai dan bertanggung
jawab— mata rantai penyebaran paham dan ideologi garis keras melalui
pendidikan (dalam arti kata yang seluas-luasnya) yang mencerahkan,
serta mengajarkan dan mengamalkan pesan-pesan luhur agama Islam yang
mampu menumbuhkan kesadaran sebagai hamba Tuhan yang rendah hati,
toleran dan damai.

Bekerjasama, saling mengingatkan tentang kebenaran (wa tawâshau
bil-haqq) dan untuk selalu bersabar (wa
tawâshau bil-shabr), menjadi
kunci penting dalam hal ini. Kita harus tetap santun, sabar, toleran,
dan terbuka dalam usaha-usaha melestarikan visi luhur nenek moyang dan
Pendiri Bangsa. Tujuan mulia hendaknya tidak dinodai dengan usaha-usaha
kotor, kebencian, maupun aksiaksi kekerasan. Tujuan luhur harus dicapai
dengan cara-cara yang benar, tegas, bijaksana dan bertanggung jawab,
yang jauh dari arogansi, pemaksaan dan semacamnya.

Kita pantas mengingat nasehat Syeikh Ibn ‘Athaillah al-Sakandari dalam
Hikam karyanya: “Janganlah bersahabat dengan siapa pun yang perilakunya
tidak membangkitkan gairahmu mendekati Allah dan kata-katanya tidak
menunjukkanmu kepada -Nya” (lâ tash-hab man lâ yunhidluka ilâ Allah
hâluhu, wa la yahdîka ilâ Allâh maqâluhu). Orang yang merasa paling
mengerti Islam, penuh kebencian kepada makhluk Allah yang tidak sejalan
dengan mereka, serta merasa sebagai yang paling benar
dan karena itu
mengklaim berhak menjadi khalifah-Nya untuk mengatur semua orang—pasti
perbuatan dan kata-katanya tidak akan membawa kita kepada Tuhan.
Cita-cita mereka tentang negara Islam hanya ilusi. Negara Islam yang
sebenarnya tidak terdapat dalam konstruksi pemerintahan, tetapi dalam
kalbu yang terbuka kepada Allah swt. dan kepada sesama makhluk-Nya.

Kebenaran dan kepalsuan sudah jelas. Garis keras ingin memaksa semua
rakyat Indonesia tunduk kepada paham mareka yang ekstrem dan kaku.
Catatan sejarah bangsa kita —Babad Tanah Jawi, Perang Padri,
Pemberontakan DI, dan lain-lain— menunjukkan bahwa jiwa-jiwa yang resah
akan terus mendorong bangsa kita ke jurang kehancuran sampai mereka
betul-betul berkuasa, atau kita menghentikannya seperti berkali-kali
telah dilakukan oleh jiwa-jiwa yang tenang, nenek moyang kita. Saat ini
kitalah yang memilih masa depan bangsa.

Jakarta, 8 Maret
2009

------------ -footnote- --------- --------- ---------

18. PBNU mendesak pemerintah mencegah masuknya ideologi transnasional
ke Indonesia. Jauh sebelumnya, almarhum KH. Yusuf Hasjim meminta PBNU
memotong masuknya ideologi transnasional karena berbahaya bagi NU dan
Indonesia. (Pidato disampaikan dalam peringatan 100 hari wafatnya KH.
Yusuf Hasjim, di Jombang, Jawa Timur; baca NU Online, “PBNU Desak
Pemerintah Cegah Ideologi Transnasional,” Ahad, 29 April 2007).

19. Lihat Lampiran 2 buku ini.

20. Baca “Gertak Mati Pengawal Akidah,” dalam Gatra edisi 14, beredar Jum’at 13 Pebruari 2004.

21. Interview dengan salah seorang alumni Universitas al-Azhar Cairo asal Indonesia angkatan 2000.

22. “Karena gerakan ideologis sering tidak terasa dan disadari oleh
mereka yang dimasukinya, maka secara sistematis berkembang menjadi
besar dan merasuk. Lebih-lebih jika gerakan ideologi tersebut
membawa
ideologi Islam yang puritan dan militan, sehingga bagi yang
menganggapnya sebagai masalah justeru yang akan disalahkan adalah
mereka yang mempermasalahkannya . Menentang mereka

berarti alergi Islam atau anti ukhuwah. Dengan demikian gerakan
ideologis seperti itu akan semakin mekar dan berekspansi secara
sistematik, yang di kemudian hari baru dirasakan sebagai masalah serius
tetapi keadaan sudah tidak dapat dicegah dan dikendalikan karena telah
meluas sebagai gerakan yang dianut oleh banyak orang. Daya infiltrasi
gerakan ideologis memang berlangsung tersistem dan meluas, yang sering
tidak disadari oleh banyak pihak,” (Haedar Nashir, Manifestasi Gerakan
Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah? Cet. Ke-5 [Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2007], h. 59).

23. “Peran pemerintah, praktisi dakwah, ulama, dan intelektual harus
memberi nasehat kepada yang [berdakwah secara] salah. Jika mereka
tidak
menerima nasehat ini, pemerintah harus menerapkan hukum dengan
menangkap mereka dan menghukumnya sesuai dengan kesalahannya,”
(Penjelasan Syeikh al-Akbar al-Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi, dalam:
Lautan Wahyu: Islam sebagai Rahmatan lil-‘Âlamîn, episode 5: “Dakwah,”
Supervisor Program: KH. A. Mustofa Bisri, ©LibForAll oundation 2009).

24. Baca: “MUI Bungker Islam Radikal,” di http://www.wahidins titute.org/ indonesia/

content/view/ 718/52/

25. Dalam buku Dua Wajah Islam, Stephen Sulaiman Schwartz dengan jelas dan

meyakinkan memaparkan aliran dana Wahabi dalam usaha-usaha wahabisasi
global dan aksi-aksi terorisme internasional yang dilakukan atas nama
agama. Dalam konflik Bosnia misalnya, dengan dalih membela Muslim
Bosnia dari ethnic cleansing, Wahabi mengambil kesempatan untuk
menyebarkan
ideologinya dengan membangun infrastruktur pendidikan dan
peribadatan. Wahabi menggunakan pendidikan (tarbiyah) dan peribadatan
(ubûdiyah) sebagai camouflage ideologis untuk menyebarkan paham
keagamaan mereka yang kaku dan sempit. Sedangkan kasus WTC sudah jelas
siapa dalang di balik tragedi tersebut. (Stephen Sulaiman Schwartz
(2002). The Two Faces of Islam: Sa’ud Fundamentalism and Its Role in
Terrorism. New York: Doubleday (diterbitkan dalam bahasa Indonesia: Dua
Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global,
Jakarta: LibForAll Foundation, the Wahid Institute, Center for Islamic
Pluralism, dan Blantika).

26. Noorhaidi Hasan, “Islamic Militancy, Sharia, and Democratic
Consolidation in Post-Soeharto Indonesia,” Working Paper No. 143, S.
Rajaratnam School of International Studies (Singapore, 23 October 2007).

27. Wawancara peneliti konsultasi di Kabupaten Magelang pada bulan Agustus
2008.

28. Pemerintah Amerika Serikat banyak membiayai pelatihan untuk
meningkatkan sumberdaya manusia terkait demokratisasi di seluruh dunia.
The National Democratic Institute (NDI), lembaga semi-pemerintah AS
yang berusaha mendorong usaha-usaha demokratisasi di Indonesia, “secara
tipikal lebih memilih mitranya berdasarkan komitmen mereka pada
prinsip-prinsip demokratis dan anti-kekerasan daripada
keyakinan-keyakinan politiknya. Faktor lain yang juga dipertimbangkan
adalah:

kemampuan dan dukungan politik rakyat seperti bisa dibuktikan dari
hasil pemilu; organisasi-organisa si tingkat akar rumput; dan kemampuan
menerima bantuan. Selama ini NDI menyelenggarakan training aktivis dan
anggota, kampanye pemilihan langsung, kebijakan pembangunan, pemilihan
pimpinan, analisis sikap pemilih, serta pembangunan dan reformasi
partai politik. NDI juga terus menyediakan saran-saran para ahli dan
informasi global,
training para pemimpin partai dan instruktur pada
tingkat nasional, wilayah, dan kabupaten.” (Baca dalam: http://www.ndi. org/indonesia) .
Berdasarkan wawancara peneliti konsultasi pada bulan Maret 2008, partai
yang paling banyak menerima manfaat dalam program Political Party
Development NDI ini adalah PKS.

29. Aktivitas Saudi di Indonesia hanya merupakan bagian kecil dari
kampanye senilai US $70.000.000. 000,- selama kurun waktu antara
1979-2003 untuk menyebarkan sekte fundamentalis Wahabi di seluruh
dunia. Usaha-usaha dakwah Wahabi yang terus meningkat ini merupakan
“kampanye propaganda terbesar di seluruh dunia yang pernah
dilakukan—anggaran propaganda Soviet pada puncak Perang Dingin menjadi
sangat kecil dibandingkan belanja propaganda Wahabi ini” (Baca dalam:
“How Billions in Oil Money Spawned a Global Terror Network,” dalam
US
News & World Report, 7 Desember 2003).

Start the day with Love, Fill the day with Love, and End the day with Love...
Be Joyful and Share your Joy with others...
Dalam Gelapnya Malam, Kita justru dapat melihat Indahnya Bintang...