Sabtu, 07 Februari 2009

Tauhid Kasih

Oleh Ahmad Yulden Erwin

Seorang Sufi dari Aceh pada Abad 17

Dalam sejarah perkembangan agama Islam di Nusantara, ada beberapa tokoh Islam yang dikenal sangat dipengaruhi oleh paham kesufian dari Al Hallaj. Di tanah Jawa kita mengenal tokoh sufi yang bernama Syeikh Siti Jenar, atau sering juga dikenal dengan panggilan Syeikh Lemah Abang.
Syeikh Siti Jenar ini dalam beberapa penelitian para ahli dikatakan salah satu wali dari sembilan wali yang dianggap menjadi penyebar agama Islam di Nusantara. Tetapi, dalam beberapa penelitian ahli lainnya, Syeikh Siti Jenar dianggap bukan salah seorang dari sembilan wali
tersebut. Namun, yang jelas, kisah hidup Syeikh Siti Jenar hampir mirip dengan Al Hallaj di tanah Persia. Syeikh Siti Jenar juga dihukum mati
oleh para wali karena dianggap telah menyesatkan umat dengan ajaran kesufian “Manunggaling Kawulo Gusti”, atau paham kesatuan antara mahluk
dengan Tuhan. Ajaran “Manunggaling Kawulo Gusti” dari Syeikh Siti Jenar ini mirip dengan ajaran “Wahdatul Wujud” yang dikembangkan dan
dipraktekkan oleh Al Hallaj.

Namun, dalam perkembangan berikutnya, juga ada seorang tokoh sufi lain di Nusantara yang juga dipengaruhi sangat kuat oleh paham Wahdatul
Wujud dari Al Hallaj ini, yaitu seorang putra Aceh yang bernama Syeikh Hamzah Fansuri. Beliau adalah seorang sufi dari Aceh yang hidup pada
abad ke-17. Menurut para peneliti dan ahli sejarah Aceh, waktu dan tempat kelahiran Hamzah Fansuri tidaklah diketahui. Ada sebagian ahli
yang mengatakan bahwa ia lahir di negeri Barus yang waktu itu masuk dalam kerajaaan Aceh (sekarang termasuk salah satu daerah di Provinsi
Sumatera Utara). Tetapi Prof. A. Hasjmy dari Aceh berpendapat bahwa Hamzah Fansuri lahir di daerah Fansur, yaitu suatu kampung yang
terletak di antara Kota Singkel dengan Gosong Telaga (Aceh Selatan).

Dalam jaman kerajaan Aceh Darusalam, kampung Fansur ini dikenal sebagai pusat pendidikan Islam. Kecuali di Aceh sendiri, Syeikh Hamzah Fansuri juga belajar di berbagai
tempat dalam pengembaraannya seperti di Jawa, India, Parsia, Arabia dan lain sebagainya. Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang alim dan
banyak menguasai ilmu seperti ilmu fiqih, tasauf, logika, filsafat, sastra, dan bahasa.

Sekembalinya dari pengembaraan, beliau mulai mengajar di Barus, kemudian Banda Aceh, dan terakhir beliau mendirikan Dayah (Madrsyah) di
daerah tempat lahirnya, dekat Rundeng (Singkel), di sana kemudian beliau wafat sekitar tahun 1607-1610. Beliau memiliki banyak murid,
tetapi yang paling terkenal adalah Syeikh Syamsudin Sumatrani yang berasal dari Samudra/Pase, yang menjadi qadi (penasehat agama) Sultan
Iskandar Muda yang wafat pada tahun 1630.

Di dalam hal taswuf atau ilmu kesufian, Syeikh Hamzah Fansuri menganut paham Wahdat Al Wujud, yaitu paham kesatuan antara Mahluk dan Tuhan.
Dalam hal ini beliau sangat dipengaruhi oleh para sufi seperti Muhyidin Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Al Halajj, Bayazid Al Bistami, Fariduddin
Attar, Jalaluddin Rumi, Al Ghazali dan lainnya.

Pada saat itu di Sumatera, khususnya di Aceh, tengah terjadi perdebatan sengit tentang paham Wahdat Al Wujud, melibatkan ahli-ahli tasawuf,
ushuludin, dan fiqih pada saat itu. Perdebatan ini dibicarakan antara lain oleh Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di dalam buku Bustan Al-Salatin,
yang menentang paham Wahdat Al-Wujud dari Syeikh Hamzah Fansuri dan para muridnya.

Perdebatan itu akhirnya memuncak menjadi perseteruan bernuansa politik. Pada masa Sultan Iskandar Tsani (1937-1641), Syeikh Nuruddin Ar-Raniri
diangkat menjadi qadi Sultan. Pada masa itu pula, Syeikh Nuruddin Ar-Raniri kerap menyatakan di dalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran
tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsudin Sumatrani telah sesat, karena termasuk ajaran kaum zindiq dan pantheis. Kemudian atas
saran Syeikh Nuruddin Ar-Raniri dan ulama istana Aceh pada waktu itu, Sultan Iskandar Tsani memerintahkan pembakaran ribuan buku karangan
penulis penganut paham Wahdat Al-Wujud di halaman masjid Raya Kutaraja.

Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri juga termasuk yang dibakar. Bahkan, para murid dan pengikut Syeikh Hamzah Fansuri banyak yang dikejar-kejar
dan dibunuh.

Karya-karya Hamzah Fansuri yang selamat dari pembakaran buku di halaman masjid Raya Kutaraja tersebut tidaklah banyak. Di antaranya, buku yang
berjudul Asrarul Arifin, Syarabul Asyikin, serta beberapa puisi sufi seperti Rubai, Syair Perahu, Syair Burung Pingai, dll.

Semasa hidupnya, Syeikh Hamzah Fansuri bukan hanya seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tetapi juga seorang perintis dan
pelopor keilmuan dan kebudayaan Melayu. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap prilaku politik dan moral raja-raja, bangsawan dan orang-orang
kaya menempatkannya sebagai seorang sufi yang berani pada jamannya.

Karena itu tidaklah mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak menyukai kegiatan Syeikh Hamzah Fansuri dan pengikutnya.
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf dan keagamaan secara sistematis dan bersifat ilmiah di
dalam bahasa Melayu. Sebelum karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri muncul,masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah keagamaan, tasawuf, dan
sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia.

Di bidang sastra, Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan puisi-puisi sufistik yang bercorak Melayu. Bahkan menurut sebagian ahli
sasta Indonesia saat ini, Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang menuliskan puisi berbentuk pantun dalam bahasa Melayu.

Di bidang kebahasaan, sumbangsih Syeikh Hamzah Fansuri juga sangat besar. Sebagai penulis pertama kitab keilmuan dan sastra dalam bahasa
Melayu, beliau telah berhasil mengangkat naik martabat bahasa Melayu dari sekedar bahasa lingua franca (bahasa pergaulan sehari-hari),
menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi seni sastra yang modern.

Tak mengherankan jika pada abad ke-17, bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di berbagai lembaga pendidikan Islam, disusul dengan
penggunaannya oleh para misionaris Kristen untuk penyebaran agama, kemudian digunakan pula oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bahasa
administrasi dan pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Inilah yang memberi peluang besar kepada bahasa Melayu untuk dipilih serta
ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia dan Malaysia.

Namun, yang paling penting, dan sering luput dari perhatian para ahli sejarah dan agama tentang Aceh, adalah ajaran sufi atau tasawuf dari
Syeikh Hamzah Fansuri yang sangat universal dan masih tetap relevan bagi bangsa Indonesia bahkan dunia saat ini. Ajaran sufi dari Syeikh
Hamzah Fansuri sangat spiritual, humanis, dan mampu melintasi sekat-sekat kemanusiaan yang tercipta akibat pandangan sempit kesukuan,
ras, serta agama.

Jalan Sufi adalah Jalan Menemukan Jati Diri Menurut Syeikh Hamzah Fansuri, seseorang yang hendak memasuki jalan sufi, jalan spiritual, jalan untuk bertemu Tuhan yang abdi, haruslah
memulai perjalanannya dengan mengenal Jati Dirinya terlebih dahulu. Simaklah syair yang ditulis beliau berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian I di bait 1:

“Sidang Faqir empunya kata,

Tuhanmu Zahir terlalu nyata.

Jika sungguh engkau bermata,

lihatlah dirimu rata-rata”.

Bagi Syeikh Hamzah Fansuri, kehadiran Tuhan itu sangatlah Maha Nyata (Zahir). Karena itu sang sufi, atau disebut sebagai Faqir, adalah orang
yang telah meninggalkan keterikatannya pada segala sesuatu di luar dirinya, dan memulai perjalanan ruhaninya dengan “melihat” atau
mengenali dirinya sendiri setiap saat.

Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri menegaskan bahwa untuk mengenal Jati Diri, seorang sufi harus memulai dengan suatu metode tafakur tertentu,
suatu latihan tertentu. Suatu metode atau latihan yang sebenarnya juga banyak digunakan oleh berbagai aliran mistik keagamaan atau spiritual
di berbagai belahan dunia, yang lebih dikenal dengan istilah meditasi.

Selama ini pengertian meditasi atau tafakur sering disalahtafsirkan hanya sebagai latihan pernapasan, atau berzikir, atau merapal mantra.
Tetapi Syeikh Hamzah Fansuri menjelaskan dengan tepat esensi dari tafakur atau meditasi atau latihan sufi di dalam syair berjudul “Sidang
Ahli Suluk” pada bagian I di bait 9: “Hapuskan akal dan rasamu, lenyapkan badan dan nyawamu. Pejamkan hendak kedua matamu, di sana kaulihat permai rupamu”.

Syeikh Hamzah Fansuri dengan sangat jelas menyatakan bahwa setiap tafakur atau metode latihan kesufian apa pun harus dimulai dengan
“hapuskan akal dan rasamu”, yang berarti suatu cara untuk menuju kepada kondisi “no-mind”, kondisi berada dalam Kesadaran Murni atau Kesadaran
Ilahi. Untuk mencapai kondisi “no-mind” tersebut, maka seorang sufi harus “lenyapkan badan dan nyawamu”, yang berarti melepaskan
keterikatan terhadap tubuh dan berbagai pemikiran atau nafsu (nyawa).

Setelah itu, barulah sang sufi memejamkan kedua mata inderawinya, untuk mengaktifkan “mata-ruhaninya”, guna melihat rupa dari Jati Dirinya yang
senantiasa berada dalam kondisi permai, kondisi “bahagia yang abadi”. Inilah sesungguhnya inti dari tafakur atau meditasi menurut Syeikh
Hamzah Fansuri.

Selanjutnya Syeikh Hamzah Fansuri mengisahkan pengalamannya mencari dan menemukan Tuhan, menemukan Allah yang lebih dekat dari urat lehernya
sendiri, menemukan Jati Dirinya sendiri. Simak syair berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 3 di bait 14: “Hamzah Fansuri di dalam Mekkah,
mencari Tuhan di Bait Al-Ka’bah. Dari Barus ke Qudus terlalu payah, akhirnya dijumpa di dalam Rumah”.

Sebagai seorang Guru Sufi atau Murshid, Syeikh Hamzah Fansuri memang mendidik para muridnya berdasarkan pengalaman pribadinya sendiri.
Seorang Murshid hanya membagi pesan atau memberi contoh berdasarkan pengalaman yang pernah dilakoninya. Begitu pula dengan Syeikh Hamzah
Fansuri, beliau dengan jujur mengungkapkan bahwa selama ini ia telah bersusah payah mencari Tuhan di luar dirinya, hal ini disimbolkan
dengan Ka’bah atau pun Qudus (nama mesjid di Yerusalem tempat kiblat sholat pertama umat Islam sebelum Ka’bah di Mekkah). Proses pencarian
Tuhan di luar dirinya tersebut telah membawanya mengembara ke mana-mana meninggalkan kampung halamannya yang bernama Barus di Aceh. Tetapi,
akhirnya beliau tersadar, bahwa Tuhan yang selama ini dicarinya di luar diri, ternyata “dijumpa” di dalam “Rumah”, di dalam dirinya sendiri.
Proses “perjumpaan” dengan Tuhan di dalam dirinya sendiri ini telah mengakhiri “pencarian” yang meletihkan dari seorang Hamzah Fansuri,
sehingga beliau layak disebut sebagai seorang Syeikh, seorang Guru Sufi, seorang Murshid yang mendidik para muridnya berdasarkan
pengalaman pribadinya sendiri.

Bagi seorang sufi sejati, penemuan Tuhan sebagai Jati Dirinya sendiri akan membuat hidupnya benar-benar bebas dari segala keterikatan apa
pun, ia berada dalam “Kemiskinan Ilahiah”, kemiskinan yang membebaskannya dari segala kemelekatan pada kesementaraan benda-benda,
pada ilusi dunia yang tercipta dari pikirannya sendiri.

Ia bersiap sedia mengurbankan dirinya demi melayani Kehendak Ilahi. Ia tidak lagi tersekat-sekat dalam pandangan sempit kesukuan atau fanatisme agama,
karena ia telah menyadari bahwa keberadaannya yang sementara selalu berada dalam Keberadaan Sang Maha Abadi. Ia sadar bahwa fungsinya di
dalam dunia hanyalah menjadi perantara atau pembawa pesan dari Keabadian, dari Allah yang senantiasa bersemayam dalam hatinya. Itulah
yang diungkapkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri, yang saya kutip secara bebas, di dalam syair yang berjudul “Sidang Ahli Suluk” pada bagian 1
di bait 11: Hamzah miskin orang terbebaskan, seperti Nabi Ismail menjadi qurban. Fansuri bukannya Persia lagi Arabi, selalu menjadi perantara dengan yang Baqi”.

Kesatuan Hamba dan Tuhan di dalam Kasih Pandangan kesufian dari Hamzah Fansuri memang sangat universal. Bagi Hamzah Fansuri, ketika seorang manusia mencari hakekat Tuhan di dalam
dirinya, maka ia pasti akan menemukan bahwa Tuhan dan hamba tiadalah berbeda. Simak salah satu bait dari “Syair Perahu” yang ditulis oleh
Beliau:

“La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,

Tauhid ma’rifat semata-mata,

Hapuskan kehendak sekalian perkara,

Hamba dan Tuhan tiada berbeda.”

Saya pikir, ungkapan Syeikh Hamzah Fansuri ini sangat berani pada masanya. Beliau dengan berani mengungkapkan hijab atau tirai yang
menutupi pandangan sempit atau ketidaksadaran umat Islam pada masa itu. “La Ilaha Il Allah itu kesudahan kata,” benar sekali pandangan Syeikh
Hamzah Fansuri dalam syair ini. Kalimat tauhid yang menjadi inti ajaran Islam ini, La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, adalah
sesungguhnya akhir dari setiap perkataan, akhir dari pikiran, akhir dari segalah ilusi, untuk menuju keadaan: “Tauhid ma’rifat
semata-mata,” suatu keadaan ketika seluruh pikiran dan pengalaman telah terlampaui, suatu keadaan murni yang dikenal dengan istilah “No-Mind”.

Namun, tentu saja, untuk mencapai keadaan murni ini, seorang sufi harus mampu untuk “Hapuskan kehendak sekalian perkara,” untuk melampaui
setiap kehendak yang masih terikat kepada berbagai perkara yang digerakkan oleh nafsu-nafsu rendah, oleh kepicikan pikiran yang
egoistik, sehingga tercapailah suatu kondisi di mana “Hamba dan Tuhan tiada berbeda.” Inilah sesungguhnya makna dari tauhid, makna dari
ungkapan La Ilaha Il Allah, Tiada Tuhan Selain Allah, yaitu suatu keadaan murni ketika seluruh kehendak telah terlampaui, maka hamba dan
Tuhan tiada berbeda. Namun, dalam hal apa hamba dan Tuhan itu tiada berbeda?

Mari kita simak pandangan Syeikh Hamzah Fansuri yang lain dalam kutipan berikut ini dari buku Zinat Al Wahidin (Tentang Keesaan Allah) pada Bab
Kelima:
“……..Alam ini seperti ombak. Keadaan Allah seperti Laut. Sungguh pun
ombak lain daripada laut, pada hakikatnya tiada lain daripada laut.

“Nabi Muhammad pernah bersabda: Allah menjadikan Adam atas RupaNya………….

“Selain itu Rasullah juga pernah bersbada: Allah menjadikan Adam atas
Rupa-Rahman. Karena Rahman disebutkan sebagai Laut, maka Adam
disebutkan sebagai buih…………..”

Berdasarkan uraian dalam bukunya di atas, dapatlah disimpulkan pandangan Hamzah Fansuri tentang ketauhidan universal punya dasar yang
cukup kokoh dalam ajaran Islam berdasarkan sabda Rasul Muhammad sendiri. Hamzah Fansuri menggunakan satu permisalan yang sudah cukup
dikenal di dalam ajaran sufi dan mistikisme di dunia, yaitu ombak dan laut. Bagi Hamzah Fansuri, alam dan segala isinya ini merupakan “Gerak
Ilahi” yang termanifestasi, dan ia ibaratkan sebagai ombak dari lautan. Sedangkan “Keadaan Allah”, suatu kondisi ketika manusia mengalami
Kesadaran Ilahiah atau Kesadaran Murni, seperti lautan itu sendiri. Ombak hanyalah bentuk lain dari laut. Pada hakekatnya, ombak dan laut
itu satu bentuk, yaitu air.

Hamzah Fansuri dengan pengetahuannya yang luas dan mendalam juga menambahkan kutipan dari sabda Rasul yang mungkin tidak cukup populer
di kalangan umat Islam saat ini. Di dalam hadis itu diungkapkan bahwa Allah juga menjadikan Adam menurut Rupa Rahman (Yang Maha Pengasih).
Bagi Hamzah Fansuri, wujud “Lautan Ilahiah” itu adalah sifat Yang Maha Pengasih, adalah “Kasih” itu sendiri. Maka, sesuai dengan sabda Rasul,
jika Allah adalah Kasih itu sendiri, sudah tentu Manusia adalah buih dari Kasih itu sendiri. Inilah inti dari ajaran kesufian dari Syeikh
Hamzah Fansuri, yaitu: Tauhid-Kasih, bahwa hakekat manusia dan seluruh alam ini adalah Kasih.

Dalam hal apa hamba dan Tuhan tiada berbeda? Menurut Hamzah Fansuri, Tuhan dan Hamba tiada berbeda dalam perwujudannya sebagai Kasih.
Kemudian Hamzah Fansuri memperluas definisi Cinta Ilahi ini menjadi “pelayanan tanpa pamrih” kepada sesama manusia dan mahlukNya. Seperti
kutipan berikut dalam kitab yang sama: “Barangsiapa cinta akan Allah, maka hendaknya ia melakukan kebaktian pula”

Relevansi Ajaran Hamzah Fansuri

Pesan-pesan yang dibawa Hamzah Fansuri masih sangat relevan dengan kondisi kehidupan beragama di Indonesia saat ini. Hamzah Fansuri sangat
menekankan agar manusia selalu beusaha untuk menemukan Jati Diri yang Ilahi di dalam diri manusia sendiri. Jati Diri manusia itu sesungguhnya
“berada” dengan kenyataan yang sama, kesatuan umat manusia dan seluruh mahlukNya di dalam Kasih. Seperti yang terungkap dalam terjemahan bebas
saya atas salah satu syairnya yang berjudul “Minuman Para Pencinta” pada bagian 5 di bait 3 berikut ini:

“Rahman itulah yang bernama semesta, Keadaan Tuhan yang wajib disembah dan dipuja. Kenyataan Islam, Nasrani, dan Yahudi sebenarnya
dari Rahman itulah sekalian menjadi nyata.” Coba kita bayangkan, seorang sufi dan ulama pada abad ke 17 di Aceh telah memiliki pandangan “Tauhid-Kasih” seperti ini. Kalau pandangan
Hamzah Fansuri ini disebarluaskan di dunia Islam saat ini, maka selesailah berbagai pertentangan atas nama agama yang disebabkan oleh
fanatisme sempit. Bagi Hamzah Fansuri, hakikat semua agama itu sama, yaitu sifat Rahman dari Allah, sifat Yang Maha Pengasih dari Allah,
atau bisa juga disebut Allah sebagai Yang Maha Kasih itu sendiri. Karena Kasih itu sendiri menjelma manjadi semesta, maka Allah dan
wujudNya sebagai Kasih itu pula sesungguhnya yang wajib disembah dan dipuja oleh semua agama. Esensi agama Islam adalah Kasih. Esensi agama
Nasrani adalah Kasih. Esensi agama Yahudi adalah Kasih. Jadi, apa gunanya melakukan peperangan atas nama agama? Demikianlah kira-kira
menurut pemahaman saya tentang pesan Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya tersebut.

Tetapi, sungguh sangat ironi, jika saat ini yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pertikaian atas nama agama justru semakin berkembang
di Indonesia. Makin lama justru makin menajam. Segelintir orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli agama justru menebarkan bibit permusuhan
antar agama di kalangan umatnya. Toleransi antar umat beragama yang dikembangkan selama ini, sekarang menjadi toleransi semu. Toleransi
ditafsirkan seperti suatu masa jeda perdamaian, untuk bersiap-siap kembali berperang. Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia, paham pertikaian politis dan
ekonomis yang dibalut sebagai pertikaian antara agama Islam dengan Yahudi di negara-negara Timur Tengah dan Arab, saat ini telah diekspor
ke umat Islam di Indonesia. Tiba-tiba saja, saat ini begitu banyak umat Islam di Indonesia yang begitu membenci orang Yahudi, tanpa tahu
sejarah politik dan ekonomi yang mendasari pertikaian di negara-negara Timur Tengah dan Arab. Kita telah terkena propaganda dari kaum
fanatisme sempit untuk memecah belah bangsa Indonesia. Kebencian yang sangat tidak sehat ini, sekarang berkembang lebih jauh kepada umat
beragama yang lainnya, seperti agama Nasrani, Buddha atau Hindu. Begitu juga sebaliknya. Sungguh sangat memprihatinkan perkembangan kehidupan
beragama di Indonesia pada saat ini. Jika kita sebagai bangsa tidak segera sadar, maka kita berada dalam satu situasi kritis menuju
pertikaian antar umat beragama yang lebih luas.

Akankah kita sudi mengimpor peperangan berlatar politik dan ekonomi yang dibumbui istilah “perang agama” di Timur Tengah dan Arab ke tubuh
Ibu Pertiwi yang tercinta ini? Lantas apa solusinya? Coba kembali kita tengok pesan Hamzah Fansuri dalam salah satu syairnya yang berjudul
“Burung Pingai” pada bagian 4 di bait 12:

“Ilmunya ilmu yang pertama,

mazhabnya mazhab ternama,

cahayanya cahaya yang lama,

ke dalam surga bersama-sama.”

Di dalam syair ini, Hamzah Fansuri membuat permisalan Jati Dirinya sebagai “Unggas Ruhani” yang bernama Burung Pingai (Burung Yang
Berkilau Keemasan). Di dalam syair yang terdiri dari empat bagian ini, Hamzah Fansuri tetap menekankan pada soal Rahman, atau Kasih. Bagi
Hamzah Fansuri ilmu tentang Kasih ini adalah ilmu yang pertama. Mazhab atau aliran keagamaannya atau jalan kesufiannya juga adalah “Mazhab
Kasih”. Cahaya sebagai simbol Kesadaran Murni juga adalah cahaya yang lama telah ada sejak pencipataan manusia yaitu “Cahaya Kasih”. Jadi,
kesimpulan Hamzah Fansuri, jika ilmu dan agama dan kesadaran manusia selalu didasari oleh Kasih, maka sudah pasti surga atau “keadaan
bahagia abadi” akan terwujud. Namun, surga itu milik bersama, milik semua umat manusia, tanpa membedakan suku atau agama, pandangan politik
atau ideologinya, status sosial atau jumlah hartanya. Bagi Hamzah Fansuri, surga atau keadaan bahagia abadi itu adalah hak dasar setiap
manusia yang telah menyatu dengan Kasih, dengan Allah itu sendiri.

Semoga ajaran “Sang Sufi Cinta” dari tanah Aceh ini bisa bergema kembali di bumi nusantara, khususnya di bumi Nangroe Aceh Darussalam.
Dan marilah kita sebagai bangsa Indonesia berjuang bersama mewujudkan “surga-kasih” dari Hamzah Fansuri di negeri Ibu Pertiwi ini. Semoga
Kebahagiaan Ilahi selalu menyinari bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia beserta seluruh mahluknya. Amin.

Pustaka:

A. Hasjmy, Ruba’I Hamzah Fansuri: Karya Sastra Sufi Abad XVII, Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajar Malaysia, 1976.

Abdul Hadi W.M., Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya, Bandung: Penerbit Mizan, 1995.
Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.

Sent from my BlackBerry® Powered by YAHOO! & GOOGLE
Be Joyful and Share your Joy with others...
Dalam Gelapnya Malam, Kita justru dapat melihat Indahnya Bintang...

Selasa, 03 Februari 2009


MENCARI Oleh: Nikolas

Separuh hidupku telah pergi
Sepanjang hariku terlalu letih
Berjalan, berlari dan terdiam sepi
Di mana sisa hidupku kini?

ooooooooooh lelah, aku mencari...
ooooooooooh sibuk, kembaliku menanti...
Terdiamku memilih setelah melayang pergi...
Bingung dengan keangkuhan hati...

Kemarin, sekarang, mungkin esok akan terlewati
Detik-detik panjang tak terhenti
Kadang membosankan, tapi esok menjadi misteri
Aku ingin berlari, tinggal tubuh kotor ini

ooooooooooh terkutuklah hari!!!
ooooooooooh terlalu banyak orang mencela!!!
ooooooooooh terlalu sering orang memfitnah!!!
ooooooooooh aku ingin muntah!!!