Jumat, 09 Januari 2009

ANTARA ZIONISME DAN YAHUDI Oleh: HARUN YAHYA

Musim panas tahun 1982 menjadi saksi atas kebiadaban luar biasa yang
menyebabkan seluruh dunia berteriak dan mengutuknya dengan keras. Tentara Isrel
memasuki wilayah Lebanon dalam suatu serbuan mendadak, dan bergerak maju sambil
menghancurkan sasaran apa saja yang nampak di hadapan mereka. Pasukan Israel ini mengepung
kamp-kamp pengungsi yang dihuni warga Palestina yang telah melarikan diri akibat
pengusiran dan pendudukan oleh Israel beberapa tahun sebelumnya. Selama dua hari,
tentara Israel ini mengerahkan milisi Kristen Lebanon untuk membantai penduduk
sipil tak berdosa tersebut. Dalam beberapa hari saja, ribuan nyawa tak berdosa telah
terbantai.

Terorisme biadab bangsa Israel ini telah membuat marah seluruh masyarakat
dunia. Tapi, yang menarik adalah sejumlah kecaman tersebut justru datang dari
kalangan Yahudi, bahkan Yahudi Israel sendiri. Profesor Benjamin Cohen dari Tel Aviv
University menulis sebuah pernyataan pada tanggal 6 Juni 1982:
Saya menulis kepada anda sambil mendengarkan radio transistor yang baru saja
mengumumkan bahwa ‘kita’ sedang dalam proses ‘pencapaian tujuan-tujuan kita’
di Lebanon: yakni untuk menciptakan ‘kedamaian’ bagi penduduk Galilee.

Kebohongan ini sungguh membuat saya marah. Sudah jelas bahwa ini adalah
peperangan biadab, lebih kejam dari yang pernah ada sebelumnya, tidak ada kaitannya
dengan upaya yang sedang dilakukan di London atau keamanan di Galilee…Yahudi,
keturunan Ibrahim…. Bangsa Yahudi, mereka sendiri menjadi korban kekejaman,
bagaimana mereka dapat menjadi sedemikian kejam pula? … Keberhasilan terbesar bagi Zionisme
adalah de-Yahudi-isasi bangsa Yahudi. ("Professor Leibowitz calls Israeli
politics in Lebanon Judeo-Nazi" Yediot Aharonoth, 2 Juli 1982)

Benjamin Cohen bukanlah satu-satunya warga Israel yang menentang
pendudukan Israel atas Lebanon. Banyak kalangan intelektual Yahudi yang tinggal di Israel yang
mengutuk kebiadaban yang dilakukan oleh negeri mereka sendiri.

Pensikapan ini tidak hanya tertuju pada pendudukan Israel atas Lebanon.
Kedzaliman Israel atas bangsa Palestina, keteguhan dalam menjalankan kebijakan
penjajahan, dan hubungannya dengan lembaga-lembaga semi-fasis di bekas rejim rasis
Apartheid di Afrika Selatan telah dikritik oleh banyak tokoh intelektual terkemuka di
Israel selama bertahun-tahun. Kritik dari kalangan Yahudi sendiri ini tidak
terbatas hanya pada berbagai kebijakan Israel, tetapi juga diarahkan pada Zionisme,
ideologi resmi negara Israel.

Ini menyatakan apa yang sesungguhnya terjadi: kebijakan pendudukan Israel
atas Palestina dan terorisme negara yang mereka lakukan sejak tahun 1967 hingga
sekarang berpangkal dari ideologi Zionisme, dan banyak Yahudi dari seluruh dunia yang
menentangnya.

Oleh karena itu, bagi umat Islam, yang hendaknya dipermasalahkan adalah
bukan agama Yahudi atau bangsa Yahudi, tetapi Zionisme. Sebagaimana gerakan anti-Nazi
tidak sepatutnya membenci keseluruhan masyarakat Jerman, maka seseorang yang
menentang Zionisme tidak sepatutnya menyalahkan semua orang Yahudi.

Asal Mula Gagasan Rasis Zionisme Setelah orang-orang Yahudi terusir dari Yerusalem pada tahun 70 M, mereka
mulai tersebar di berbagai belahan dunia. Selama masa ‘diaspora’ ini, yang berakhir
hingga abad ke-19, mayoritas masyarakat Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah
kelompok masyarakat yang didasarkan atas kesamaan agama mereka.

Sepanjang perjalanan waktu, sebagian besar orang Yahudi membaur dengan budaya setempat, di
negara di mana mereka tinggal. Bahasa Hebrew hanya tertinggal sebagai bahasa suci yang
digunakan dalam berdoa, sembahyang dan kitab-kitab agama mereka. Masyarakat Yahudi
di Jerman mulai berbicara dalam bahasa Jerman, yang di Inggris berbicara dengan bahasa
Inggris. Ketika sejumlah larangan dalam hal kemasyarakatan yang berlaku
bagi kaum Yahudi di negara-negara Eropa dihapuskan di abad ke-19, melalui emansipasi,
masyarakat Yahudi mulai berasimilasi dengan kelompok masyarakat di mana
mereka tinggal. Mayoritas orang Yahudi menganggap diri mereka sebagai sebuah
‘kelompok agamis’ dan bukan sebagai sebuah ‘ras’ atau ‘bangsa’. Mereka menganggap
diri mereka sebagai masyarakat atau orang ‘Jerman Yahudi’, ‘Inggris Yahudi,
atau ‘Amerika Yahudi’.

Namun, sebagaimana kita pahami, rasisme bangkit di abad ke-19. Gagasan rasis,
terutama akibat pengaruh teori evolusi Darwin, tumbuh sangat subur dan
mendapatkan banyak pendukung di kalangan masyarakat Barat. Zionisme muncul akibat
pengaruh kuat badai rasisme yang melanda sejumlah kalangan masyarakat Yahudi.

Kalangan Yahudi yang menyebarluaskan gagasan Zionisme adalah mereka yang
memiliki keyakinan agama sangat lemah. Mereka melihat “Yahudi” sebagai nama sebuah
ras, dan bukan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu
keyakinan agama. Mereka mengemukakan bahwa Yahudi adalah ras tersendiri yang
terpisah dari bangsa-bangsa Eropa, sehingga mustahil bagi mereka untuk hidup bersama,
dan oleh karenanya, mereka perlu mendirikan tanah air mereka sendiri. Orang-orang
ini tidak mendasarkan diri pada pemikiran agama ketika memutuskan wilayah mana yang
akan digunakan untuk mendirikan negara tersebut. Theodor Herzl, bapak pendiri
Zionisme, pernah mengusulkan Uganda, dan rencananya ini dikenal dengan nama ‘Uganda
Plan’.

Kaum Zionis kemudian menjatuhkan pilihan mereka pada Palestina. Alasannya
adalah Palestina dianggap sebagai ‘tanah air bersejarah bangsa Yahudi’, dan bukan
karena nilai relijius wilayah tersebut bagi mereka.

Para pengikut Zionis berusaha keras untuk menjadikan orang-orang Yahudi
lain mau menerima gagasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama
mereka ini.

Organisasi Yahudi Dunia, yang didirikan untuk melakukan propaganda masal,
melakukan kegiatannya di negara-negara di mana terdapat masyarakat Yahudi. Mereka mulai
menyebarkan gagasan bahwa orang-orang Yahudi tidak dapat hidup secara
damai dengan bangsa-bangsa lain dan bahwa mereka adalah suatu ‘ras’ tersendiri; dan dengan
alasan ini mereka harus pindah dan bermukim di Palestina. Sejumlah besar
masyarakat Yahudi saat itu mengabaikan seruan ini.

Dengan demikian, Zionisme telah memasuki ajang politik dunia sebagai
sebuah ideologi rasis yang meyakini bahwa masyarakat Yahudi tidak seharusnya hidup bersama
dengan bangsa-bangsa lain. Di satu sisi, gagasan keliru ini memunculkan beragam
masalah serius dan tekanan terhadap masyarakat Yahudi yang hidupnya tersebar di
seluruh dunia.

Di sisi lain, bagi masyarakat Muslim di Timur Tengah, hal ini
memunculkan kebijakan penjajahan dan pencaplokan wilayah oleh Israel, pertumpahan darah,
kematian, kemiskinan dan teror.

Banyak kalangan Yahudi saat ini yang mengecam ideologi Zionisme. Rabbi
Hirsch, salah seorang tokoh agamawan Yahudi terkemuka, mengatakan:
‘Zionisme berkeinginan untuk mendefinisikan masyarakat Yahudi sebagai sebuah
bangsa .... ini adalah sesuatu yang menyimpang (dari ajaran agama)’.
(Washington Post, 3 Oktober 1978)

Roger Garaudy menulis:
Musuh terbesar bagi agama Yahudi adalah cara berpikir nasionalis, rasis dan
kolonialis dari Zionisme, yang lahir di tengah-tengah (kebangkitan)
nasionalisme, rasisme dan kolonialisme Eropa abad ke-19. Cara berpikir ini, yang
mengilhami semua kolonialisme Barat dan semua peperangannya melawan nasionalisme lain,
adalah cara berpikir bunuh diri. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan
tidak ada perdamaian di Timur Tengah kecuali jika Israel telah mengalami “de-Zionisasi”
dan kembali pada agama Ibrahim, yang merupakan warisan spiritual,
persaudaraan dan milik bersama dari tiga agama wahyu: Yahudi, Nasrani dan Islam. (Roger
Garaudy, "Right to Reply: Reply to the Media Lynching of Abbe Pierre and Roger
Garaudy",Samizdat, Juni 1996)

Dengan alasan ini, kita hendaknya membedakan Yahudi dengan Zionisme. Tidak
setiap orang Yahudi di dunia ini adalah seorang Zionis. Kaum Zionis tulen adalah
minoritas di dunia Yahudi. Selain itu, terdapat sejumlah besar orang Yahudi yang
menentang tindakan kriminal Zionisme yang melanggar norma kemanusiaan. Mereka
menginginkan Israel menarik diri secara serentak dari semua wilayah yang didudukinya, dan
mengatakan bahwa Israel harus menjadi sebuah negara bebas di mana semua
ras dan masyarakat dapat hidup bersama dan mendapatkan perlakuan yang sama, dan bukan
sebagai ‘negara Yahudi’ rasis.

Kaum Muslimin telah bersikap benar dalam menentang Israel dan Zionisme.
Tapi, mereka juga harus memahami dan ingat bahwa permasalahan utama bukanlah terletak
pada orang Yahudi, tapi pada Zionisme.

ZIONISME: SEBUAH NASIONALISME SEKULER YANG MENGKHIANATI YUDAISME Zionisme
dibawa ke dalam agenda dunia di akhir-akhir abad ke sembilan belas oleh Theodor Herzl
(1860-1904), seorang wartawan Yahudi asal Austria. Baik Herzl maupun
rekan-rekannya adalah orang-orang yang memiliki keyakinan agama yang sangat lemah, jika
tidak ada sama sekali. Mereka melihat "Keyahudian" sebagai sebuah nama ras, bukan
sebuah masyarakat beriman. Mereka mengusulkan agar orang-orang Yahudi menjadi
sebuah ras terpisah dari bangsa Eropa, yang mustahil bagi mereka untuk hidup bersama,
dan bahwa penting artinya bagi mereka untuk membangun tanah air mereka sendiri.
Mereka tidak mengandalkan pemikiran keagamaan ketika memutuskan tanah air manakah itu
seharusnya.

Theodor Herzl, sang pendiri Zionisme, suatu kali memikirkan Uganda, dan
ini lalu dikenal sebagai "Uganda Plan." Sang Zionis kemudian memutuskan Palestina.
Alasannya adalah Palestina dianggap sebagai "tanah air bersejarah bagi orang-orang
Yahudi", dibandingkan segala kepentingan keagamaan apa pun yang dimilikinya untuk
mereka.

Sang Zionis melakukan upaya-upaya besar untuk mengajak orang-orang Yahudi
lainnya menerima gagasan yang tak sesuai agama ini. Organisasi Zionis Dunia yang baru
melakukan upaya propaganda besar di hampir semua negara yang berpenduduk
Yahudi, dan mulai berpendapat bahwa Yahudi tidak dapat hidup dengan damai dengan
bangsa-bangsa lainnya dan bahwa mereka adalah "ras" yang terpisah. Oleh karena itu,
mereka harus bergerak dan menduduki Palestina. Sebagian besar orang Yahudi mengabaikan
himbauan ini.

Menurut negarawan Israel Amnon Rubinstein: "Zionisme (dulu) adalah sebuah
pengkhianatan atas tanah air mereka (Yahudi) dan sinagog para Rabbi".15
Oleh karena itu banyak orang-orang Yahudi yang mengkritik ideologi Zionisme. Rabbi
Hirsch, salah satu pemimpin keagamaan terkemuka saat itu berkata, "Zionisme ingin menamai
orang-orang Yahudi sebagai sebuah lembaga nasional…. yang merupakan sebuah
penyimpangan. "16 Selebihnya silakan dibaca di link:
http://www.tragedipalestina.com/yahudilawant errorisme. html

15- Amnon Rubinstein, The Zionist Dream Revisited, hlm. 19
16- Washington Post, Oktober 3, 1978

Semoga kita dapat melihat permasalahan Timur Tengah dengan hati dan
pikiran yang
sejernih mungkin,

íóÇ ÃóíõøåóÇ ÇáóøÐöíäó ÂãóäõæÇ ßõæäõæÇ
ÞóæóøÇãöíäó áöáóøåö ÔõåóÏóÇÁó ÈöÇáúÞöÓúØö
æóáÇ íóÌúÑöãóäóøßõãú ÔóäóÂäõ Þóæúãò Úóáóì
ÃóáÇ ÊóÚúÏöáõæÇ ÇÚúÏöáõæÇ åõæó ÃóÞúÑóÈõ
áöáÊóøÞúæóì æóÇÊóøÞõæÇ Çááóøåó Åöäóø Çááóøåó
ÎóÈöíÑñ ÈöãóÇ ÊóÚúãóáõæäó yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Dan tak lupa doa selalu untuk Saudara/Saudari kita di Palestina:

ÑóÈóøäóÇ áÇ ÊóÌúÚóáúäóÇ ÝöÊúäóÉð áöáúÞóæúãö
ÇáÙóøÇáöãöíäó æóäóÌöøäóÇ ÈöÑóÍúãóÊößó ãöäó
ÇáúÞóæúãö ÇáúßóÇÝöÑöíäó yang artinya:
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum
yang lalim,
dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari (tipu daya) orang-orang yang
ingkar." (QS. Yuunus, ayat 85-86)

amiin

Tidak ada komentar: