Jumat, 16 Januari 2009


Oleh : Ario Djatmiko, pengajar di Fakultas Kedokteran Unair

Awal dari semua kejahatan di muka bumi ini adalah dusta. Begitu
kata Saidun, guru ngaji saya di kampung. Mengapa? Dalam berdusta, kita
sendirilah yang tahu, kita itu sedang berbohong atau tidak.

Siapa pun yang tega menipu diri sendiri pasti lebih tega
melakukannya pada orang lain. Saidun mengingatkan, munafik adalah
serendah-rendah nilai manusia di mata Tuhan. Munafik berarti tidak
satunya kata dan perbuatan. Cirinya, obral janji. Lantas, bagaimana
kita tahu munafik atau tidak?

Pemilu adalah peristiwa mahapenting dalam sejarah bangsa ini.
Proses memilih presiden yang membawa bangsa ini ke depan. Dalam proses
sepenting itu, di mana pers berada? Pers hadir sekadar menjual space
kosong untuk bebas diisi capres. Atau, ada tanggung jawab lain yang
lebih bermakna untuk bangsanya?

Pilar ke-4 yang menjaga demokrasi adalah pers. Untuk itu, kebebasan
pers harus dipertahankan. Ibarat pisau, pers bebas diarahkan ke mana
saja. Pertanyaannya, nurani atau sponsorkah yang bicara?

Ada Yang Harus Dijaga

Obama terpilih, kita menyaksikan indahnya dan terhormatnya
demokrasi. Bukan sekadar kisah menangnya kulit hitam atas kulit putih
atau muda versus tua. Lebih dari itu, menangnya nurani dan akal sehat.
Di sini terlihat peran pers amat jelas. Pers membawa perbedaan
fundamental tiap kandidat presiden ke ruang publik. Pertama, rakyat
Amerika akhirnya sadar untuk memilih jalan kapitalis yang sosialistik
ketimbang kapitalis bebas ala Reagan. Tentu dengan segala konkuensinya.

Kedua, rakyat memilih multilateralisme ketimbang unilateralisme.
Artinya, mereka menerima bahwa Amerika hanya merupakan salah satu
kekuatan penyeimbang dunia. Bukan lagi menjadi pengatur (baca: polisi)
dunia.

Ketiga, soft power lebih diterima ketimbang hard power. Air mata
bercucuran saat Obama berbicara I will listen to you, especially when
we disagree. Untuk orang-orang yang tidak memilih dia, Obama santun
berkata sungguh-sungguh bekerja untuk mereka. Dan, kemenangan Obama pun
menjadi kemenangan rakyat Amerika.

Lebih mengharukan, pidato politik McCain. Dia berjanji mengawal
kepresidenan Obama mencapai cita-cita Amerika. Kita melihat keagungan
di sini. Value yang mencerminkan keluhuran budi, sportivitas, dan
patriotisme tinggi. Mereka sadar, ada hal yang harus mereka jaga demi
masa depan bangsanya, yaitu kebersamaan! Tanpa kebersamaan, Amerika
akan hancur, apalagi dalam situasi ekonomi sulit ini.

Lantas, bagaimana mereka bisa mencapai itu semua? Jawabannya,
kematangan berbangsa dan kerja maksimal pers dalam melakukan
investigasi dan edukasi.

Benarkah para capres kita sadar betul akan pentingnya menjaga
kebersamaan? Benarkah maraknya iklan politik akan identik dengan
lahirnya pemimpin-pemimpin unggul yang bernurani, sportif, dan
patriotis? Apakah kita akan melihat keindahan dan terhormatnya
demokrasi saat pemilu hadir di negeri ini?

Kata-Kata Membunuh

Pada awal putaran kampanye tampak tanda-tanda mencemaskan. Tudingan
Rizal Ramli, dalam paparannya di TV, SBY melakukan rekayasa statistika.
Itu tuduhan berat, kebohongan publik! Pertanyaannya, apakah tudingan
tersebut merupakan rekam jejak atau hanya black campaign? Sebab,
ternyata Ramli pun mencalonkan presiden. Artinya, tudingan itu maybe
yes maybe no dan rakyat bingung.

Di sinilah pers seharusnya hadir membuka tabir? Komentar Amien Rais
tentang SBY-Kalla takut menghadapi asing. Menyetujui UU Migas adalah
ketololan yang menyundul plafond. Mungkin benar, tapi tidak adakah
kalimat yang lebih soft?

Saat McCain menyebut country first, ratingnya naik melebihi Obama.
Tudingan ''that one'' (baca: orang di luar kita) untuk Obama membuat
rating McCain melorot dan tidak pernah naik lagi.

Pelajarannya, black campaign bisa menjadi bumerang. Saat Sarah
Palin terkena masalah, Obama tegas mengatakan akan memecat tim
suksesnya yang melakukan black campaign. Terasa benar hadirnya
kesantunan politik di sini.

Masih ingat saat ulang tahun PDIP di Palembang? Mega mengkritik
langkah pemerintahan SBY-Kalla seperti poco-poco. Dengan nada menghina,
Anas Urbaningrum menasihati Mega untuk lebih sering becermin dan
membaca. Seandainya Anas itu tim sukses Obama, pasti sudah dipecat.

Tapi, negeri ini aneh, posisi Anas di partai justru makin penting
saja. Atau ada skenario lain, lempar batu sembunyi tangan? Kisah
seperti itulah yang muncul di ruang publik. Orang pintar tahu apa yang
dikatakan. Tapi, orang bijak tahu apa dampak dari ucapannya.

Nah, seharusnya para elite tahu cara mengolah delivery agar
substansinya bisa lebih diterima. Dan, bagaimana mungkin kita dapat
membangun kebersamaan kalau para elite terus mengumbar kata-kata
membunuh?

Pers Perjuangan

Jim Collins dalam bukunya Good to Great mengingatkan, ''First who
and then what''. Kalau diibaratkan membeli kucing dalam karung, iklan
politik adalah karungnya. Sekadar bungkus tempat menjual diri semata.
Seindah apa pun karung dihias, who-nya (baca: kucingnya) tetap tak
terungkap. Tidak ada gunanya kita berbicara ''what'' kalau tidak tahu
betul who-nya.

Lantas, di mana peran pers? Pers mempunyai dua wilayah, wilayah
iklan dan wilayah pemberitaan. Iklan adalah wilayah yang bisa dibeli
dan si pembeli dapat menulis apa pun sesuai tujuannya. Jelas tidak
mungkin kita mengungkap ''who'' dari wilayah iklan.

Di sini media harus memilih. Main aman dengan iklan politik dan
sibuk menghitung laba walau sadar ikut menyesatkan. Atau, tegak sebagai
intellectual gate keeper menjaga bangsanya. Tampil tegar menghadapi
risiko di wilayah pemberitaan. Membawa analisis tajam rekam jejak
capres ke ruang publik, membuka mata hati rakyat.

Beruntung saya pernah bertemu mediang Mochtar Lubis. Pers tidak
hanya urusan teknik pemberitaan semata. Makna publik adalah tujuan
utama pers. Landasan moral, etika, keberpihakan pada -kebenaran dan
kepentingan masyarakat- adalah nyawa pers.

Mochtar mengingatkan, pers Indonesia lahir karena perjuangan dan
sampai akhir tetap menjadi alat perjuangan. Jelas, perjuangan menuntut
sacrifice, bukan sekadar usaha mengejar laba.

Lantas, ke mana pisau pers akan diarahkan? Tegakah kita membiarkan
rakyat tak berdaya tersesat, memilih karung indah berisi serigala?

Tidak ada komentar: